Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College Of Arts
mepnew.id – Seorang profesor sekaligus rektor sebuah perguruan tinggi teknologi negeri di Kalimantan belum lama ini menuliskan pada akun medsosnya tentang pengalamannya sebagai reviewer beasiswa LPDP. Tulisan itu sulit untuk tidak dipersepsi sebagai bernada kebencian pada ekspresi Islam dan suku bangsa Arab.
Seorang pemuda yang membaca status akun medsos sang profesor kemudian men-screenshoot dan memviralkannya ke dunia maya. Pemuda ini berkesimpulan bahwa sang rektor melakukan ujaran kebencian sekaligus rasis.
Kontan, ramailah jagat maya dengan berbagai pros dan kons-nya.
Ciutan bernada merendahkan Islam dan Arab yang meningkat selama beberapa tahun terakhir ini memang bagai fenomena gunung es. Hal ini marak sejak narasi islamophobia menjadi wacana publik global. Itu setelah Presiden Bush Jr dari Amerika Serikat menyatakan war on terror setwlah peristiwa keruntuhan menara kembar WTC New York. Dalam praktiknya, ini berarti war on Islam. Seruan Bush ini dijadikan sebagai pretext atas invasi AS ke Iraq dan Afghanistan.
Sayang sekali, narasi memusuhi Islam itu got buzzed oleh Pemerintah selama 7 tahun terakhir ini.
Saat ketua BPIP mengatakan di depan publik bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila, maka ciutan sang profesor ini memperoleh papan lontarnya di BPIP.
Penting dipahami bahwa permusuhan terhadap agama, terutama Islam, telah diam-diam menjadi prinsip dasar kebijakan pembangunan terutama sejak Orde Baru. Semua program pembangunan hingga hari ini adalah proyek sekulerisasi sekaligus deislamisasi besar-besaran. BPIP hanya memberi sentuhan akhir saat UUD45 diamandemen secara ugal-ugalan, lalu Pancasila dikubur di bawan kaki kaum sekuler kiri dan nasionalis radikal sebagai useful idiots yang kini diam-diam berkuasa. Sampai di sini perlu dicermati, bahwa BPIP berpotensi menjadi instrumen bagi kekuatan-kekuatan nekolimik asing yang terus melancarkan neo-cortex war tak pernah berhenti memecah belah bangsa ini dalam rangka melemahkan ummat Islam, lalu menjarah kekayaan bangsa ini.
Salah satu cara melemahkan ummat Islam adalah menarasikan secara publik bahwa Islam itu kreasi budaya Arab. Dengan membangkitkan sentimen nasionalisme, sekaligus sukuisme.
Sentimen rasial ini pula yang dipompakan oleh Inggris unyuk mendorong perlawanan Jazirah Arab terhadap khilafah Turki Usmani di Istanbul. Padahal khilafah Turki Usmani dan khilafah-khilafah non-Arab lainnya adalah bukti yang terang bahwa Islam tidak berarti Arab.
Memang sentimen nasionalisme dan juga sukuisme adalah sentimen yang mudah sekali dibangkitkan. Orang sering lupa bahwa asal-usul primordial kita bukanlah prestasi kita, sekaligus bukan kutukan atas kita. Asal usul kita itu pemberian Tuhan yang tidak bisa ditolak sekaligus bukan sesuatu yang boleh dibanggaagungkan secara berlebihan hingga menjadi neonazi ala Jerman di bawah Hitler.
Dengan demikian jelas bahwa ciutan sang profesor cum rektor itu sesat dan menyesatkan bangsa ini.
Terkait tugas profesor sebagai pendidik itu, saya ingat kisah Tengzin Norgay sang sherpa yang menjadi penunjuk jalan bagi Edmund Hillary ketika mendaki puncak Mt. Everest pertama kalinya pada 29 Mei 1953. Saat diwawancarai wartawan ketika keduanya turun di pos terdekat, Tengzin diminta menceritakan momen ketika dia dan Edmund mencapai atap dunia itu. “Beberapa meter sebelum mencapai puncak yang diselimuti es itu, aku berhenti dan mempersilahkan Sir Edmund untuk mendaki di depanku.” Wartawan beritanya, “Mengapa itu kau lakukan?” Dijawab Tengzin, “Itu kan mimpinya, bukan mimpiku.” Tanya wartawan lagi, “Lalu apa mimpimu?” Dijawab Tengzin, “Mengantarkan orang lain meraih mimpinya.”
Tugas setiap guru adalah opening the minds murid-muridnya, memberi ruang kreatifitas bagi semua mimpi yang mungkin diraih; menjadikan semua yang impossible menjadi sesuatu yang possible.
Kunci kreatifitas itu, menurut Richard Florida, ada tiga T: Talenta, Teknologi, dan Toleransi atas keragaman, termasuk keragaman ekspresi budaya dan agama yang masih dijamin oleh konstitusi.
Komunitas terdidik harus bekerja keras untuk memastikan bahwa ekspresi kreatif itu tidak layu sebelum berkembang karena direndahkan dan ditakut-takuti.
Gunung Anyar, 9 Mei 2022