Oleh: Moh. Husen*
mepnews.id – Pada Idul Fitri 1443 H kali ini, saya mendapat suguhan istimewa dari seorang teman luar kota berupa pitutur hikmah tatkala dia harus masuk penjara. Tentu saja saya juga disuguhi kue lebaran dan minuman manis yang lezat. Akan tetapi kisah penjara ini ternyata tak kalah lezatnya.
Mulanya, dia mengurai setiap orang memiliki sensitivitasnya masing-masing. Ada orang yang malu kalau dikatakan miskin, tapi tidak malu kalau dikatakan mantan narapidana. Nah, dia meminta saya merahasiakan identitasnya karena pantangan kalau orang sampai tahu bahwa dia mantan napi.
Saya tidak mengejar terlalu jauh mengenai alasan dia menolak disebut mantan napi. Saya hormati saja pantangan dia itu. Dengan pertimbangan, setiap orang termasuk saya memiliki sesuatu yang sensitif bila disinggung secara vulgar.
Kemudian, dengan sendirinya dia mengatakan, menjadi mantan napi itu mestinya harus malu dan jangan sampai ada yang tahu. Harus berusaha semaksimal mungkin untuk merahasiakannya. Sungguh pun dengan niat demi pembelajaran agar tak ditiru orang lain.
“Jadi napi itu tidak patut ditiru. Masak habis terbukti korupsi milyaran rupiah di tengah orang cari makan dan pekerjaan saja susah, malah dia bangga memaparkan aibnya. Tentu ini tidak patut. Tapi saya juga menghormati orang yang berbeda pandangan dengan saya,” dia mengurai secara santun.
Saya dengarkan sembari menikmati suguhan. Saya agak gugup untuk ngimbangi tema napi ini agar jangan sampai salah omong atau salah guyon. Guyon kan bisa salah dan melukai perasaan jika tak hati-hati atau jika semestinya tak perlu guyon sama sekali.
“Semula saya frustrasi di penjara,” dia melanjutkan, “Saya nggak bisa tidur. Makan tidak enak. Teringat orang ini, orang itu. Setengah bulan saya baru bisa menerima bahwa tidak ada jalan lain kecuali menerima kenyataan saya sekarang jadi napi.”
“Buka nabi ya, hehehe…,” saya iseng-iseng menimpali.
“Oh, bukan. Bukan nabi, tapi napi, hehehe….,” dia turut berkelakar.
“Nah, di sini lah,” kata dia tetiba belok agak serius, “Saya menemukan terkadang Tuhan menyelamatkan seseorang melalui kesalahan. Saya dulu emang hampir jadi nabi. Omongan saya selalu diturut. Tidak ada yang berani membantah saya. Saya juga sering merasa benar hanya karena banyak anak buah yang oke-oke saja.”
“Begitu jelas saya jadi napi,” lanjut dia dengan tetap serius, “maka jelas pula yang nabi itu hanya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Saya setuju dengan Cak Nun yang sering mengatakan di YouTube: saya ke sini tidak untuk mengajak Anda percaya kepada saya, melainkan ayok kita semua percaya kepada Allah dan Rasulullah….”
“Lho, kok jadi ke Cak Nun…”
“Lha, Sampeyan kan ngefans sama Cak Nun…”
“Saya ini ngefans sama Rhoma Irama. Semua lagunya banyak yang saya hafal…”
“Halah, Sampeyan ini bisa saja ngeles dan nyelimur, hahahahaha…”
Si mantan napi ini, saat di penjara dan hingga sekarang, berlatih melepas semua beban fikiran seberat apapun yang ada selama 10 menit. Dia rutin, 10 menit duduk bersila mengosongkan diri, pasrah kepada Allah, dan menerima apa adanya.
“Oh meditasi ya?” saya tanya.
“Duduk bersila berserah diri kepada Allah kok harus pakai sebutan yang seram-seram dan aneh. Disebut jagongan kayak orang ngopi-ngopi juga nggak pa-pa, hehehehe…”
“Dzikir Qolbi ya?”
“Ah, bahasanya terlalu mewah. Saya ini orang biasa, orang kotor dan kumuh, hehehehe…”
“Sepertinya hanya mantan napi unggulan yang bisa menjawab secanggih ini, hahahahaha….”
“Hahahahaha…”
Kami tertawa. Lantas karena sudah sore, saya pamit pulang.
Banyuwangi, 8 Mei 2022
*Penulis buku Setelah Kalah, Setelah Menang. Tinggal di Rogojampi-Banyuwangi.