Oleh: Moh. Husen
mepnews.id – Oleh manusia, ilmu puasa bisa diaplikasikan atau diterapkan dalam kehidupan yang sangat sehari-hari. Bayangkan kalau manusia rakus makan terus tanpa henti? Sehingga dia perlu ilmu puasa untuk semakin peka kapan dia harus makan dan kapan dia harus stop makan.
Dalam hal menulis, sebenarnya saya juga menerapkan ilmu puasa, tapi saya gunakan sebagai alasan tatkala ide saya lagi macet, pikiran lagi buntu. Bahasa kerennya: writer block. Lalu saya beralasan: “Saya lama nggak nulis karena lagi puasa menulis….”
Jika ada yang mengatakan menulis itu susah, maka untuk mempermudahnya adalah dengan cara berani menulis. Tulisan yang belepotan hari ini, asal dia konsisten nulis terus, memperhatikan tulisannya sendiri, belajar kepada tulisan orang lain, insya Allah, akan berkembang lebih baik.
Syaratnya cuma satu: bersedia memulai menulis. Namun semua itu sungguh sebuah teori yang saya sendiri sering terpaksa nekat menjalaninya. Padahal saya selalu grogi berat betapa menulis itu susahnya bukan main. Kalimat pertamanya apa, kalimat berikutnya gimana, ah betapa absurdnya semua itu.
Namun saya dibantah oleh suara yang entah darimana datangnya tapi bisa lolos masuk ke gendang telinga saya. Saya kaget. Dia bisa bahasa-bahasa seperti absurd dan sebagainya.
“Tapi sebenarnya tidak absurd,” kata suara itu.
“Problem penulis itu terkadang ragu dengan kendaraannya sendiri alias ragu dengan gaya penulisan yang dimilikinya sendiri,” si suara melanjutkan.
“Lho, saya bukan penulis bos,” iseng-iseng saya membantah.
“Aduuuhhh, jangan alasan dan jangan debat dehhhh…”
“Oke, kalau gitu saya menulis, judulnya ilmu alasan dan ilmu debat, hehehehe….”
“Lho, jangan. Ilmu alasan saja. Ndak usah pakai ilmu debat…”
“Oke siap…”
Suara tersebut bukan suara rakyat lho ya. Juga bukan suara dhemit, nanti saya bisa dikira klenik. Juga bukan suara malaikat. Mana mungkin saya yang kotor ini punya vibrasi ke alam malakut. Pokoknya suara. Dan sekarang saya akan mulai menulis.
Memang sejak dulu, salah satu ilmu yang tidak pernah ada di buku rapot tapi membuat saya ingin menguasai dan mendalaminya adalah ilmu alasan. Saya kagum tak ketulungan dengan ilmu alasan sehingga saya begitu ingin untuk menguasainya.
Misalnya saja, kalau ada orang terang-terangan tidak berpuasa, saya kurang begitu ngurus apa alasannya. Tapi giliran saya kelihatan tampak berpuasa karena tak makan minum, kok ndilalah ada yang iseng tapi serius bertanya: “Kalau boleh tahu apa sih alasan Sampeyan berpuasa…”
Nah ini yang membuat saya guyon: “Ya Allah, kok berani-beraninya dia tanya gitu kepada saya. Sedangkan kepada penguasa dia tunduk dan membisu. Padahal yang harus lebih mengerti ilmu dan konsep puasa itu adalah penguasa. Tolong dong saya dikasih ide jawaban yang lucu-lucu saja deh, hehehehe….”
Tentunya tidak mungkin saya peka terhadap “jawaban” Tuhan, meskipun saya yakin seribu persen bahwa Tuhan langsung menjawab. Akhirnya saya jawab saja sekenanya: “Saya ini menjelaskan alasan belum bisa bayar hutang saja tidak diterima, apalagi harus menjelaskan alasan berpuasa. Sampeyan ini ada-ada saja, hehehehe…”
Kita perlu guyon-guyon becanda sana-sini sembari tetap berpuasa supaya kita semakin manusiawi.
Banyuwangi, 4 April 2022