Membaca Dinamika Masyarakat Banyuwangi Lewat Gending

Oleh: Moh. Syaiful

mepnews.id – Masyarakat Banyuwangi gemar berkesenian. Kesenian tradisional tumbuh dan berkembang bersama kehidupan keseharian masyarakat. Kegiatan keseharian, seperti bercocok tanam, bekerja di ladang, kegiatan sosial, bahkan kegiatan adat, hampir dipastikan tak lepas dari kesenian. Tari-tarian, musik dan gendingan, bahkan pertunjukan drama, sering dilakukan bersama kegiatan keseharian.

Saat senggang menunggu sawah menjelang panen, sambil menjaga tanaman dari gangguan hama, mereka memainkan bebunyian dari atas paglak (gubuk) tinggi di tengah sawah. Bebunyian dari bambu itu selanjutnya diberi nama angklung paglak. Alat ini dibuat punya tangga nada yang disusun dari rendah sampai tinggi sehingga dapat menghasilkan gending atau instrumentalia indah untuk mengisi kesunyian di tengah sawah atau ladang. Dari atas paglak, lantunan musik mengiringi para petani bekerja sepanjang hari.

Demikian pula nelayan yang bekerja di laut. Mereka melantunkan senandung, syair, dan gending, untuk mengusir hawa dingin dan angin laut. Gendingan atau gandangan (bernyanyi dengan bergumam) adalah kegiatan melantunkan syair-syair sebagai teman saat mereka mengarungi lautan di antara bunyi riuh ombak dan desir angin.

Nelayan, petani dan kesenian adalah bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi.

Di masa sekarang, frekuensi kegiatan berkesenian di Banyuwangi kian meningkat seiring makin beragamnya pola kehidupan masyarkat. Kian maju dan kian bertumbuh akan kepentingan lain selain mencari nafkah, berkegiatan sosial, adat istiadat dan hiburan.

Pariwisata, misalnya, kini juga menjadi bagian dari kebutuhan hidup bagi masyarakat modern. Pariwisata menambah ragam serta wujud komplek dari perkembangan setiap kesenian tradisional di Banyuwangi. Wisatawan atau pelancong mencari kesenian sebagai bagian dari kebutuhan akan hiburan dan berwisata.

Perkembangan kesenian tradisional juga menjanjikan sebagai salah satu sumber pendapatan sampingan selain yang pokok. Ini tentu memacu kreativitas tinggi bgi pelaku untuk menghasilkan olah seni. Apalagi jika hasil dari berkesenian dapat menghidupi keluarga, di samping pendapatan pokok dari ladang atau dari lautan.

Disadari atau tidak, Banyuwangi mempunyai potensi kuat dalam berolah seni dari latar belakang kehidupan sehari-hari. Lebih-lebih, ada kebutuhan menghasilkan pencaharian sebagi seniman yang mendapat imbalan jika berkesenian secara baik dan dapat diterima masyarakat. Hal ini dapat dipastikan memperkaya khasanah budaya yang hidup dan berkembang di Banyuwangi.

Namun demikian, perkembangan kesenian tradisional mengalami pasang-surut jika diukur dari kegiatan maupun jumlah peminatnya. Sumitro Hadi mengungkapkan hal itu dalam bukunya Diskripsi Angklung Caruk Banyuwangi, terbitan 1995, halaman 10.

Suhu politik dan gonjang-ganjing pemerintahan pada masa penjajahan pada umumnya, serta masa Pemberontkan G 30 S/PKI pada khususnya, marupakan salah satu dinamika dengan arah vertikal lurus tegak berpengaruh pada kesenian masyarakat Banyuwangi. Di sini tidak dinyatakan bahwa gonjang-ganjing politik dan pemberontakan telah mematikan kehidupan kesenian, namun berpengaruh besar. Kenyataannya, banyak partai politik yang memanfaatkan kesenian untuk menggalang masa mendukung mencari kekuasaan.

Untunglah hingga saat ini kesenian tradisional masih hidup dan berkembang baik di Banyuwangi. Bahkan, banyak karya seni yang tercipta justru karena adanya perkembangan politik dan kejamnya masa penjajahan. Sebut saja gending ‘Podho Nonton’, ‘Layar Kumendung’, ‘Kembang Pepe’ serta ‘Seblang Lukinta’ tercipta sebagai ekspresi masyarakat terhadap kejamnya penjajahan kala itu.

Genjer-genjer‘ karya M. Arief, ‘Ulan Andung-andung‘ karya BS Noerdian dan Andang CY, ‘Banteng Tangi‘ karya Sumitro Hadi  serta ‘Jaran Ucul‘ juga menjadi saksi lahirnya karya seni berupa lirik dan gending terkait keadaan politik di masa Orde Lama dan Masa Orde Baru.

Ada atau tidaknya kesengajaan untuk membuat kritik kepada pemerintahan masa itu, penulis yakin seniman tak berpikir sejauh itu. Justru kebutuhan akan berekspresi lah yang menjadi kebutuhan mendasar dan harus segera dipenuhi oleh seniman yang tak bisa dibatasi kreativitasnya.

Data di Seksi Kebudayaan, Kantor Depdikbud, Kabupaten Banyuwangi, menunjukkan jumlah organisasi kesenian tradisional (Sumitro Hadi, 1995:10) masih bertahan di masa tahun 1995 antara lain; 1. Gandrung, 2. Angklung Caruk, 3. Angklung Paglak, 4. Angklung Blambangan, 5. Kuntulan, 6. Hadrah, 7. Patrol, 8. Barong Arak-arakan, 9. Jaranan Buto, dan 10. Mocoan Pacul Gowang.

Tradisi masyarakat yang masih dipelihara dan dilaksanakan yang tak terpisah dengan kegiatan berkesenian antara lain: 1. Upacara Adat Seblang, 2. Petik Laut, 3. Barong Ider Bumi, 3. Kebo-Keboan, 4. Puter Kayun, 5. Mocoan Lontar, 6. Endhog-Endhogan, 7. Manjer Kiling, dan 8. Gredoan.

Di masa awal-awal pemerintahan Orde Baru, saat negara masih menata stabilitas keamanan dan belum sempat membenahi ekonomi rakyat, kehidupan masyarakat Banyuwagi tak bisa lepas dari kesengsaraan dan kemelaratan. Kesejahteraan masih jauh dari yang dipikirkan. Tak pelak, gending-gending seperti ‘Jaring Kambang‘ karya Endro Wilis, serta ‘Nggetaki Manuk‘ dan ‘Deredesan‘ karya Sumitro Hadi seolah portrait yang membaca keadaan masyarakat bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan layak tetapi penghasilan yang didapatkan tak seimbang. Harga barang-barang pokok mahal, sementara upah buruh serta hasil pertanian dan nelayan sangat murah.

Di ahir-akhir masa Orde Baru, kebebasan berekspresi mulai agak longgar. Kepentingan-kepentinga akan suksesnya pembangunan menjadi bagian dari penciptaan gending-gending yang merupakan portrait keadaan masa itu. Para komponis dan pencipta lagu pun ikutan. ‘Jaga Desa‘ karya Sayun Sisiyanto, ‘Gelang Renteng‘ karya Sumitro Hadi, serta ‘Muji Syukur‘ karya BS Noerdian dan Andang CY, seolah menjadi corong pemerintah untuk propaganda keberhasilan pembangunan masa itu.

Kebebasan berekspresi para seniman Banyuwangi semakin kuat di masa-masa awal reformasi. Lagu dengan tema-tema bebas seolah kicau burung bebas lepas. Padahal, batasan norma dan adab sudah ada sejak lama dan selalu menjadi tapakan berpijak bagi kehidupan masyarakat Banyuwangi.

Lagu dan gending semacam ‘Bokong Semok‘ karya Surapin yang dipopulerkan Reny Farida, atau ‘Wedhus‘ yang dipopulerkan Demy dan diproduksi Samudera Record, lebih berani buka-bukaan. Bahkan, lagu-lagu ini sempat mendapat kecaman MUI Banyuwangi agar ditarik dari peredaran.

Sementara, ‘Warung Tendho‘ karya Catur Arum lebih terbungkus rapi sebagai karya yang menapaki nilai-nilai seni walau dengan keberanian mengungkapkan yang jujur seolah meminggirkan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat saat itu. ‘Warung Tendho‘ termasuk lagu yang lahir sebagai bentuk kebebasan atau bahkan bentuk terlepasnya belenggu pembatasan terhadap karya dan kesenian. Pada masa itu, kita tidak bisa menampik kenyataan, lahir juga lagu-lagu dengan tema cinta dan keindahan alam yang sepertinya adalah tema-tema keabadian yang tak lekang oleh waktu dan tak tergerus oleh portret kondisi sosial pada zamannya.

Di kemajuan teknologi sekarang, ruang jarak dan waktu seolah tak terbatas lagi. Sekat-sekat lokal, regional, nasional, bahkan antar negara, seolah dirobohkan bagai tembok Berlin di Jerman masa lalu. Lagu-lagu dengan tema cinta, bahkan tema atau melodi-melodi dari negara nun jauh di sana, seakan jadi sangat dekat di telinga masyarakat Banyuwangi.

Lagu-lagu dari Cina dan negara Asia lainnya seakan mendominasi pengaruh pada pencipta dan komponis untuk melahirkan lagu dengan kemiripan atau bahkan terjemahan dari negara asal. ‘Lungset‘ karya Dedy Boom adalah contoh karya yang disadari atau tidak sebenarnya adalah lompatan dari negeri asalnya kemudian direka-ulang dengan sangat baik menjadi lagu Banyuwangi.

Ngelabur Langit‘ menjadi lagu yang menandai kebebasan tiada tara di negeri ini. Sekat-sekat kedaerahah, lokal, regional, bahkan nasional, seolah dibongkar menjadi kepentingan universal bagi kenikmatan berekspresi dunia seni yang mempunyai alam tersendiri jauh dari segala batasan norma, susila, bahkan aturan. Padahal, masyarakat Banyuwangi sejak dulu memegang teguh norma, susila, dan aturan.

Membaca dinamika sosial budaya masyarakat Banyuwangi dari masa ke masa sebenarnya adalah kenikmatan dengan kacamata gending dan lagu yang tercipta. Kesenian dan sosial budaya masyarakat adalah satu kesatuan yang tak mungkin dapat dipisahkan. Tidak ada yang berada di depan atau bahkan ada dibelakan jamannya. Semua berjalan beriringan bersama perkembangan peradaban masyarakat Banyuwangi itu sendiri.

 

  • Penulis adalah penulis novel yang juga guru di SMPN 1 Banyuwangi.

Facebook Comments

Comments are closed.