Gandrung Banyuwangi yang Memikat Hati

Oleh: Yeti Chotimah MPd

mepnews.id – Indonesia merupakan negara agraris yang gemah ripah loh jinawi. Hal ini didukung oleh faktor musim, yakni tropis. Begitu halnya dengan Banyuwangi yan kekayaan alamnya melimpah. Masyarakatnya sebagian besar agraris, serta sebagian lainnya mencari penghidupan di kawasan maritim.

Di kawasan ujung timur pulau Jawa ini tak lepas dari kepercayaan adanya Dewi Sri yang merupakan perwujudan Dewi Padi. Sang Dewi dipuja dengan penuh cinta. Rasa cinta ini diperwujudkan dengan perumpamaan tari Gandrung. Secara bahasa, gandrung artinya senang atau syukur atau cinta atau kagum habis-habisan. Rasa senang atau syukur ditujukan kepada kebesaran Sang Pencipta atas limpahan karunia berupa panen melimpah.

Di daerah lain, ada beberapa tarian yang secara filosofis mempunyai nilai dan kedudukan sama. Antara lain; Ledek dari Jawa Tengah, Ronggeng dari tlatah Sunda, Lengger dari Banyumas, Bumbung dari Bali, Ketuk Tilu dari Jawa Barat, dan Gandrung dari NTB.

Seni dan budaya yang berkembang di seantero dunia tidak pernah lepas dari sejarah dan peradaban budaya. Begitu juga dengan lahirnya kesenian Gandrung di masa Kerajaan Blambangan yang mengerucut menjadi wilayah Kabupaten Banyuwangi saat ini.

Salah satu catatan sejarah seni Gandrung dibuat John Scholte dalam bukunya ‘Gandroeng Van Banjoewangi 1926′. Catatan ini kemudian dikuatkan oleh cerita tutur dari budayawan Hasnan Singodimayan yang saat ini berusia 85 tahun.

Saat Kerajaan Blambangan di bawah pemerintahan Raja Danurejo, terdapat daerah perwalian Kerajaan Klungkung dari Bali yang bertempat di Dusun Kebalen Satriyan di Rogojampi. Sekitar tahun 1731, terjadi pembantaian etnis Bali oleh VOC di daerah kekuasaan Blambanagan. Karena kejadian tersebut, banyak penduduk yang menyelamatkan diri termasuk Bapak Ketut bersama 56 prajurit .

Ketut beserta rekan-rekannya melebur dalam peradaban budaya di Desa Cungking Kecamatan Giri. Ketut menghibur rekan sesama prajurit dengan tarian bernuansa daerah asal namun syair lagunya laik-laik dengan tanpa musik (garingan). Seiring waktu, Ketut memilih penduduk desa setempat bernama Marsan untuk didandani dan menarikan gandrung. Kala itu Marsan berusia 40 tahun.

Tradisi terus berkembang. Penari angkatan kedua (1735) adalah Regeg dan Urip. Angkatan ketiga, I Made Sahrin. Angkatan keempat, pada tahun 1895, posisi penari gandrung laki-laki bergeser digantikan penari perempuan. Angkatan pertama Gandrung perempuan yakni Ni Wayan Raslon dan Ni Wayan Rasmen.

Suatu ketika, Desa Cungking mengalami paceklik. Dengan tirakat oleh masyarakat setempat, dibuka desa baru untuk dijadikan tempat mencari peruntungan di bidang pertanian. Desa tersebut dinamakan Ulih-ulihan yang berarti ‘mendapatkan’. Disebut ulih-ulihan, karena warga mendapatkan sarinya kehidupan berupa sumber mata air yang melimpah untuk keberlangsungan kehidupan. Seiring waktu, desa itu disebut Desa Oleh Sari yang kini masuk wilayah Kecamatan Glagah. Mbah Ketut meninggal dan dimakamkan juga di Desa Oleh Sari.

Setelah mendapatkan sumber air melimpah, penduduk kembali mendapatkan panen melimpah. Rasa suka cita warga diwujudkan dalam bentuk tarian. Dasar gerak tarinya dari Gandrung yang disesuaikan dengan keberadaan dan kepercayaan desa setempat. Di daerah Oleh Sari dan Bakungan, misalkan, adaptasi tari gandrung itu menjadi tari ritual seblang. Cikal bakal penari seblang di Oleh Sari yaitu penari gandrung yang bernama Semi yang kala itu berusia 10 tahun.

Awalnya, tari gandrung disakralkan. Hanya orang-orang tertentu dan terpilih yang boleh menarikannya. Baru, pada tahun 1980-an, siapa saja boleh menari gandrung. Namun, tetap ada pemisahan antara penari gandrung profesional dengan penari gandrung pertunjukan. Untuk menjadi gandrung profesional, penari gandrung harus melewati pendidikan selama kurang lebih tiga bulan sampai gandrung tersebut dianggap sudah layak dan bisa diwisuda. Posesi memperoleh izasah sebagai gandrung profesional disebut meras gandrung.

Gandrung Banyuwangi dan Gandrung NTB saat manggung bersama di Lombok.

Di Bali, tari gandrung masih disakralkan dan masih ada keberadaannya di Desa Ketapian Kelod Denpasar, Bali. Pementasan hanya dilakukan saat memperingati hari Buda Cemeng, hari Manis Tumpek Wayang dan hari Galungan. Di Nusa Tenggara Barat, tari gandrung yang juga untuk menghormati tamu dari luar daerah sampai sekarang terus dilestarikan.

Tata busana tari gandrung Banyuwangi terdiri dari beberapa bagian;

  • Bagian tubuh. Terdiri dari penutup badan yang terbuat dari kain beludru berhiaskan monte dan manik-manik dengan ornamen payet emas berbentuk leher botol. Berikutnya ada ilat-ilatan, kelat bahu, pending atau ikat pinggang, sembong dengan kain asesoris yang wajib menggunakan warna hijau, merah dan putih, serta sampur atau selendang. Ketentuan warna untuk sampur adalah abang (merah), putih, ijo (hijau), dan kuning yang disingkat ‘APIK’.
  • Omprog pakaian kepala.

    Bagian kepala. Terdapat penutup kepala yang disebut omprok atau omprog. Bahan aslinya dari kulit kerbau. Namun, sejak 2007, berkembang omprog yang terbuat dari kertas plasemen. Omprog gandrung mempunyai ornamen ular berkepala manusia. Ada dua kepala yang dalam pewayangan disebut Antaseno atau Antarejo atau Antaboga. Pada omprog terdapat cunduk mentol atau disebut kembang goyang di samping kanan, kiri, depan dan belakang. Pada masa lalu, cunduk mentol bagian belakang ditambahi hio atau yosua sebagai pengingat waktu dan persembahan. Cunduk mentol bagian depan ditambahi bunga kamboja. Dulu pada bagian kepala ini juga terdapat sumping yang ditaruh di telinga. Namun, sejak 1940-an, sumping sudah tidak lagi.

  • Bagian bawah menggunakan kain batik dengan motif apa saja yang penting pantas. Namun, kala Banyuwangi dipimpin Bupati Joko Supaat, sekitar tahun 1966, Gandrung diwajibkan mengenakan kain panjang dengan motif batik gajah uling dengan sulur serta warna dasar batik putih. Sejak itu, batik Gajah Uling dijadikan sebagai ikon batik Banyuwangi. Pada masa pemerintahan Bupati Samsul Hadi, gandrung diwajibkan diajarkan di sekolah. Otomatis setiap sekolah wajib mempunyai baju gandrung masing-masing. Pada masa ini, sewek atau jarit atau kain panjang bagian bawah gandrung mulai berkembang. Tidak lagi menggunakan warna dasar putih, tetapi berwarna warni menyesuaikan pakem sampur atau selendangnya. Saat pemerintahan Bupati Azwar Anas, sewek yang digunakan sudah tidak mengikuti pakem batik gajah uling serta warna sampur APIK. Pada Festival 1000 Gandrung pertama, sewek yang digunakan sudah menggunakan warna lasem kecoklatan dengan hiasan corak lebih beragam namun tidak meninggalkan gajah uling sebagai ikon Banyuwangi.
  • Kaki. Pada tahun 1930-an, era pemerintahan Hindia-Belanda, Gandrung beberapa kali dipentaskan di tingkat antar-keresidenan. Saat tampil di Surabaya, banyak pejabat dari berbagai negara turut menyaksikan. Kala itu, penari Gandrung kebanyakan gadis desa yang lekat dengan pertanian sehingga biasa menari bertelanjang kaki. Merasa kaki telanjang kurang sedap dipandang, perwakilan dari Cina memberikan masukan bagaimana jika diperindah dengan diberi kaos kaki berwarna putih.

Properti yang digunakan penari gandrung berupa kipas di tangan. Ada dua kipas, namun terkadang penari gandrung hanya menggunakan satu. Musik pengiring tarian gandrung berupa gong, kempul, kluncing/triangle, biola, kendang, kethuk, panjak/pengundang kocak. Seiring perkembangan jaman dan kebutuhan manajemen pertunjukan, tari gandrung kadang diiringi saron bali, angklung, dan rebab. Sekarang, bahkan dengan musik elekton.

Tarian gandrung saat ini judulnya bermacam-macam dengan variasi gerakan yang berkembang pesat. Dulu, dikenal dengan sebutan gandrung terob yang biasanya tampil mulai pukul 23.00. Pengadek lebih dulu membawakan bebereapa lagu berisi nasehat dengan cara kocak. Menjelang tengah malam, tari gandrung diawali dengan jejer gandrung sebagai penyambutan, dilanjutkan paju gandrung dan ditutup dengan seblang subuh.

Kini, tari gandrung berkembang menjadi banyak gerakan. Antara lain Jejer Jaran Dawuk, Gandrung Dor, Gandrung Seblang Lukinto, Gama Gandrung. Yang terbaru, Gandrung Marsan. Kreasi terbaru ini tidak lain untuk mengenang Bapak Marsan selaku penari pertama gandrung.

Apresiasi dan pelestarian gandrung sebagai warisan budaya tak benda semakin menjadi ikon kebanggaan Banyuwangi. Tidak hanya tarian, asesoris yang dijual untuk wisatawan juga banyak bernuansa gandrung. Mulai dari kaos, souvenir, gantungan kunci, hingga patung gandrung. Beberapa instansi pemerintah maupun swasta menempatkan patung gandrung sebagai pemanis gedung.

Tumbuh dan berkembangnya Indonesia tidak akan pernah lepas dari akar budaya. Senyampang pelestarian ditanamkan sebagai bagian dari kehidupan yang mendarah daging, bukan hanya sebagai lip service atau formalitas, maka anak-anak bangsa tidak akan pernah tercerabut dari karakter dan budaya dasarnya. Kita juga harus menjadi bagian dari ibarat ‘Di mana tanah dipijak, di situ langit kita junjung’ dengan kesejarahan, seni dan budaya yang menjadi identitas diri.

  • penulis adalah guru di SMPN 3 Rogojampi, Banyuwangi.

 

Facebook Comments

Comments are closed.