Pentingnya Character Building dalam EHB-BKS

Oleh: Sri Widowati, M.Pd

Pekan ini dan pekan depan adalah waktu ujian bagi siswa kelas XII SMA negeri maupun swasta di Jawa Timur. Pekan depan, ujian diselenggarakan mandiri oleh sekolah. Pada minggu ini, empat hari ujian yang diikuti siswa terpusat di Jawa Timur. Ujian ini disebut EHB-BKS (Evaluasi Hasil Belajar Berbasis Komputer dan Smartphone). Artinya, ujian boleh diselenggarakan dengan menggunakan komputer maupun smartphone.

Sebagai praktisi pendidikan, penulis merasa tergelitik untuk melakukan refleksi pelaksanaan EHB-BKS tahun ini. Terlebih lagi, saat ini penulis termasuk dalam panitia pelaksana EHB-BKS.

Refleksi pertama, bagaimana proses pembuatan soal-soal untuk EHB-BKS. Karena latar belakang penulis adalah guru Matematika, maka penulis paham benar bagaimana soal-soal EHB-BKS khususnya Matematika dibuat. Tahap awal, setiap organisasi guru mata pelajaran (MGMP) dalam hal ini Matematika setiap kabupaten mengikuti sayembara penulisan soal tingkat Jawa Timur. Paket soal yang menang mendapatkan penghargaan yang tidak sedikit. Berikutnya, soal diverifikasi dan disempurnakan oleh Tim MGMP Matematika Jawa Timur. Jadi, proses pembuatan soal ini, agar valid dan bermutu, juga menyita waktu, tenaga dan biaya.

Refleksi kedua, tentang soal yang keluar dalam EHB-BKS. Bentuknya soal cerita sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Soal-soal tersebut menuntut siswa tidak hanya memahami teori namun yang lebih penting adalah mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Selama ini, permasalahan yang dihadapi pelajar Indonesia adalah ketidakmampuan memahami bahwa pelajaran di sekolah itu benar-benar membentuk pola pikir sehingga bisa bermanfaat dalam kehidupan mereka kelak.

Refleksi ketiga terkait pelaksanaan EHB-BKS di setiap sekolah sebagai satuan pendidikan yang mengeksekusi kegiatan tersebut. Sesuai namanya, pelaksanaan EHB-BKS boleh berbasis komputer maupun berbasis smartphone sesuai kemampuan sekolah masing-masing. Keduanya tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri.

Bagi sekolah yang menyelenggarakan EHB-BKS berbasis smartphone, tentu akan lebih efektif dan efisien dari segi waktu, tenaga dan biaya. Bagaimana tidak? Pertama, karena perangkat yang digunakan adalah smartphone dari masing-masing siswa peserta sehingga tidak perlu ada sinkronisasi komputer sekolah dengan server Jawa Timur sesuai jadwal yang ditentukan. Juga tidak perlu menyeting komputer client yang akan digunakan siswa sebagai peserta ujian. Selain itu, yang kedua, ujian cukup dilaksanakan satu sesi. Mulai 08.00 hingga pukul 11.15 dengan dua mata pelajaran per hari. Dengan demikian, tidak perlu ada pengawas ujian yang pulang sore. Berikutnya, yang ketiga, tidak perlu ada proctor (ahli IT) yang ikut membantu kelancaran ujian. Benar-benar sangat menghemat sumber daya.

Akan tetapi, tentu saja, di balik kelebihan-kelebihan tersebut pasti ada kekurangannya. Salah satunya adalah layar smartphone yang kecil, membuat siswa lebih sulit membaca soal. Apalagi soal EHB-BKS berupa cerita yang panjang-panjang. Kelemahan kedua adalah integritas siswa. Ketika siswa menggunakan smartphone, sangat memungkinkan mereka melakukan googling, menggunakan kalkulator, maupun melakukan chat untuk minta jawaban teman dari satu sekolah maupun sekolah lain, dari satu kota maupun lintas kota. Pada akhirnya, siswa menjadi merasa tidak perlu belajar untuk menghadapi ujian.

Bagaimana dengan ujian berbasis komputer? Karena sekolah tempat penulis memilih pelaksanaan tipe tersebut, dan penulis termasuk dalam kepanitiaan, maka penulis paham betul bagaimana plus-minusnya menyelenggarakan EHB-BKS berbasis komputer.

Pertama, harus melakukan sinkronisasi dengan server Dinas Pendidikan Jawa Timur. Kebetulan, waktu itu sekolah kami mendapat jadwal Minggu 6 Maret 2022 pukul 10.00 WIB. Kegiatan sinkronisasi kurang lebih memakan waktu 1 jam. Kemudian, proses setting 165 komputer client yang terbagi di 5 ruang berbeda. Praktis, ini menyita waktu dan tenaga, serta dilakukan di hari libur.

Kedua, karena komputer yang tersedia hanya 50% dari jumlah siswa, maka pelaksanaan ujian harus dilakukan dua sesi. Sesi pertama, pukul 08.00 sampai 11.15. Sesi kedua, pukul 12.30 sampai 15.45. Dari pagi hingga sore. Masing-masing ruang memiliki satu pengawas dan satu proctor.

Ketiga, agar komputer dalam kondisi fit untuk ujian, perlu kesiapan sarana prasarana di masing-masing ruang. Maka, perlu cek kondisi komputer masing-masing ruangan, juga perlu cek pendingin ruangan, apakah semua berfungsi dengan baik atau tidak. Kegiatan itu juga dilakukan pada pra-acara ujian yang tentunya juga menyita sumber daya.

Akan tetapi, ketiga risiko tersebut diambil oleh sekolah penulis dengan pertimbangan bahwa ujian yang dihadapi siswa bukan hanya untuk memperoleh nilai yang valid. Ada yang lebih penting, yaitu pembentukan mental yang baik (character building) bagi peserta didik. Nilai-nilai yang ingin ditanamkan sekolah adalah kejujuran, integritas, menjadi pekerja keras, mandiri, percaya diri, dan memiliki daya juang untuk menghadapi tantangan model apa saja. Apalagi tipe-tipe soal ujian telah dibagikan sebelumnya, dan beberapa guru telah berkesempatan membahasnya di ruang kelas. Perkara nilai siswa baik, cukup, maupun kurang, dalam tahap ini, tentu bukan satu-satunya yang akan diambil sebagai penilaian akhir. Semua akan dikembalikan pada guru pengajar yang paham betul bagaimana keseharian siswa di sekolah.

Tak cukup dengan hal tersebut. Sekolah tempat penulis berkarya juga membiasakan siswa berdoa berjamaah di aula sebelum melaksanakan ujian. Hal tersebut dikandung maksud untuk menanamkan karakter religius siswa. Percaya pada kebesaran Tuhan dan tawakal setelah berproses. Guru memberikan motivasi-motivasi sebelum berdoa, sehingga siswa memahami keyakinan tersebut menjadi budaya positif sekolah.

Keseluruhan karakter yang berusaha ditanamkan, yaitu; religius, mandiri, percaya diri, integritas, kejujuran, dan daya juang yang tinggi, adalah indikator karakter-karakter yang ingin dimunculkan dalam profil pelajar Pancasila. Akan tetapi, pelaksanaan EHB-BKS, semua berpulang pada sekolah sebagai penyelenggara ujian. Opsi yang manakah yang akan dipilih?

 

  • Penulis adalah praktisi pendidikan SMAN 1 Giri Taruna Bangsa, pendamping calon Guru Penggerak Angkatan 3.

Facebook Comments

Comments are closed.