Oleh: Istiqomah
mepnews.id – Ada sejumlah catatan positif tentang Banyuwangi. Kabupaten ini peraih nilai tertinggi untuk kepatuhan pelayanan publik se-Jatim dan 10 besar dari seluruh kabupaten di Indonesia. Tidak mengherankan jika Banyuwangi menjadi destinasi bagi kebanyakan orang. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berdasarkan rata-rata lama sekolah (RLS) masyarakat Banyuwangi ada di angka 7,16 atau yang tertinggi di wilayah tapal kuda. Tidak mengherankan jika Banyuwangi menjadi salah satu kabupaten rujukan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Bagi Banyuwangi, pendidikan adalah modal dasar bagi masyarakat untuk berkembang pada masa yang terus berubah. Serangkaian usaha dilakukan Pemkab Banyuwangi untuk menyiapkan generasi masa depan yang lebih relijius, cemerlang, kompeten, berpikir kritis, dan kreatif, sehingga mampu membawa daerah menggapai keunggulan.
Banyuwangi menerapkan dua strategi besar dalam pembangunan pendidikan. Membangun infrastruktur dan membangun SDM kompeten. Untuk infrastruktur, tata kelola pemerintahan sudah terintegrasi dengan sistem teknologi informasi atau Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang bahkan sebagai rujukan kabupaten lain.
Kedua hal tersebut berkolerasi erat, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas dan ketercapaian pendidikan. Bagi Banyuwangi, pendidikan harus bisa dirasakan semua lapisan masyarakat dan merata sampai pelosok daerah. Sehingga semua masyarakat bisa mendpatkan pendidikan optimal. Adanya perguruan tinggi negeri dan swasta serta berbagai program pendidikan bisa mengakselerasi SDM kalangan murid untuk mendapatkan pendidikan secara luas dan terjangkau.
Ada program Siswa Asuh Sebaya yang menumbuhkan kepekaan terhadap teman yang kurang beruntung. Ada Banyuwangi Cerdas sebagai program beasiswa untuk mahasiswa Banyuwangi yang ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Ada juga Garda Ampuh (Gerakan Daerah Angkat Anak Muda Putus Sekolah) yang menjaring anak putus sekolah untuk dilanjutkan pendidikannya.
Program-program ini bahkan menjadi daya tarik masyarkat dari luar Banyuwangi untuk ikut belajar ke jenjang pendidikan yang mereka inginkan. Salah satunya, para siswa dari Kepulauan Pagerungan dan sekitarnya untuk mengarungi lautan lalu menginjakkan kaki di Bumi Blambangan untuk menuntut ilmu.
Pagerungan adalah kawasan kepulauan kecil dan terpencil yang secara administratif bagian dari Kabupaten Sumenep – Madura. Namun, secara geografis, posisi Pulau Pagerungan Kecil dan Pulau Pagerungan Besar ada di utara Selat Lombok antara Pulau Bali dan Pulau Lombok. Secara budaya, penduduk Pagerungan memiliki kultur Sulawesi dengan Bahasa Mandar dari Sulawesi Barat dan Bahasa Bajo dari Sulawesi Tenggara.
Para penuntut ilmu ini melakukan perjalanan ke Banyuwangi menggunakan transportasi laut. Bila tidak mendapat kapal perintis (yang hanya berlayar 2-3 kali dalam sebulan), mereka menumpang kapal kayu milik nelayan yang berbelanja bahan baku dan makanan di Banyuwangi. Meski gratis, konsekuensinya tentu saja mereka harus berjejalan dengan barang-barang. Namun hal tersebut tidak menyurutkan niat generasi muda Pagerungan melanjutkan pendidikan di Banyuwangi.
SMK Gadjah Mada, tempat saya mengajar, terletak strategis di jantung kota Banyuwangi dan menjadi salah satu sekolah swasta jujugan para pemuda Pagerungan dari tahun ke tahun. Dengan berbagai program jurusan pilihan, mereka tersebar sesuai bakat dan minatnya. Walau jumlah mereka tidak banyak, namun cukup memberikan warna pada sekolah kami. Selepas menyelesaikan pendidikan, banyak alumni yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Banyuwangi.
Ketika saya berdiskusi dengan beberapa murid rantau, terkuak alasan mereka memilih Banyuwangi sebagai tempat belajar. Mereka berpandangan, di Banyuwangi banyak sekolah negeri maupun swasta yang bisa mereka pilih sesuai kemampuan dan minat. Anak-anak pulau kebanyakan meneruskan sekolah di Banyuwangi pada jenjang SMA/SMK dan perguruan tinggi. Mereka juga menganggap pendidikan di Banyuwangi lebih maju dan berkualitas dibandingkan daerah lain yang letaknya dekat tempat tinggal mereka. Lalu, mencari pengalaman dan memiliki saudara yang bisa mereka tumpangi saat menimba ilmu adalah faktor lain mengapa mereka memilih pendidikan di Banyuwangi.
Apakah para murid rantau mengalami culture shock saat pertama kali tiba di Banyuwangi?
Tentu saja! Ada perbedaan besar antara kota Banyuwangi dengan Kepulauan Pagerungan. Suasana jalan raya yang ramai di Banyuwangi membuat mereka sulit menyebrang. Hiruk-pikuk masyarakat kadang membuat mereka sulit tidur. Sinyal internet lebih cepat memudahkan mereka berselancar dunia maya. Akses sarana dan prasarana penunjang sekolah lebih mudah daripada di Pagerungan. Banyaknya even serta hiburan di Banyuwangi membuat mereka merasakan pahit, manis, asam sebagai anak rantau. Ini keunggulan pengalaman yang tidak hanya didapatkan dari bangku sekolah, namun juga dari kehidupan sosial budaya Kota Gandrung.
Bergaul dengan pelajar dan masyarakat Banyuwangi membuat anak-anak pulau mendapat akselerasi dalam menggali ilmu. Mereka juga belajar hal-hal baru tentang kebiasaan, adat-istiadat, dan berbaur harmonis di dalamnya. Walau berkomunikasi dengan logat atau dialek yang berbeda dengan masyarakat Banyuwangi, itu bukan menjadi alasan untuk perundungan namun malah menjadi sarana untuk saling belajar dan saling mengerti. Keragaman lah yang menjadikan kekayaan budaya di lingkungan sekolah. Rukun, saling menopang, dan saling mengisi.
Para orang tua atau kerabat anak-anak pulau ini ada yang menetap dan membentuk perkampungan di Banyuwangi. Komunitas mereka memiliki karakteristik khusus namun minim pergesekan dengan masyarakat lainnya. Tempat pemukiman mereka populer dengan sebutan Kampung Mandar. Lokasinya di pesisir utara sekitar Pantai Boom. Kehidupan mereka kebanyakan sebagai Nelayan.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memfasilitasi mereka sesuai potensi, antara lain dengan pergelaran Fish Market. Jika dulu sumber penghasilan mereka hanya dari berburu ikan, sekarang diperluas dengan pemasaran dan pengolahan ikan bakar. Para pendatang dari pulau-pulau ini bisa menangkap ikan, mengolah khas Kampung Mandar, lalu menjualnya dengan membuka warung makan sekitar pantai atau warung makan plengsengan Pantai Boom. Ini menjadi potret tanggung jawab Pemerintah Kabupaten dalam memaksimalkan potensi kampung pesisir pantai agar roda perekonomian terus berjalan dan melaju lebih cepat.
Masuknya pendatang, sebagai penduduk sementara maupun menetap permanen, sebagai pelajar maupun masyarakat umum, membuat masyarakat Banyuwangi menjadi heterogen. Proses akulturasi budaya memberikan manfaaat dan melahirkan ide-ide baru bagi perkembangan masyarakat tanpa mengilangkan budaya asli. Masyarakat Banyuwangi tetap mempunyai kekhasan dan mendorong kemajuan di setiap lini kehidupan tanpa melupakan identitas diri sesuai dengan nilai luhur bangsa.
- Penulis adalah guru di SMK Gajah Mada dan SMP Muhammadiyah 3, Banyuwangi