Oleh: Moh. Husen*
mepnews.id – Sekitar jam 1 siang, saya beserta beberapa teman bersilaturahmi ke rumah seorang Gus. Tepatnya di pesantren beliau. Saya bertemu beliau pertama kali pada 30 Desember 2017. Ndilalah-nya pas 30 Desember 2021 saya bertemu untuk yang kedua kalinya setelah 4 tahun.
Begitu saya ingatkan pertama kali bertemu beliau di rumah Si Anu, lalu bareng-bareng naik mobil beliau ke acara Refleksi Haul Gus Dur di rumah seorang kawan alumni Santri Ciganjur, Gus yang sederhana ini langsung nyeletuk: “Oh, Cak Nun ya…”
Padahal perut saya yang tambun dan kacamata saya yang minus tebal ini, lebih indikatif kalau saya digojlok sebagai Gus Dur. Namun karena ke mana-mana saya sering menceritakan Cak Nun, termasuk di hadapan beliau, jadinya begitu beliau ingat saya, langsung saja: “Oh, Cak Nun ya…”
Di acara Refleksi Haul Gus Dur tahun 2017 itu, entah bagaimana ceritanya, saya ngomong sekenanya: “Gus Dur itu penulis, maka jadilah penulis…”
Menjadi penulis? Apa maksudnya? Apakah menulis itu hanya mendokumentasikan huruf perhuruf belaka? Apakah semua orang harus jadi penulis? Bukankah dalam hidup ini harus ada orang yang jadi petani atau presiden? Ataukah ada makna lain dari maksud menjadi penulis?
Sampai di sini, mungkin ada beberapa gambaran di benak kita. Misalnya saja, menulis tidak harus seperti lazimnya orang menulis. Orang bisa menulis dengan cara menjalani apa yang harus dia jalani.
Kalau dia marah, berarti dia sedang ‘menulis’ marah dengan sebuah tindakan nyata. Bukan dengan pena atau keyboard laptop. Kalau dia sedang membela nasib orang kecil, mengkritik penguasa yang dholim, maka begitulah tulisan yang sedang dia ‘ketik’ (baca: sedang dijalaninya) saat itu.
Demikianlah Gus Dur. Beliau menulis dengan mesin ketik sekaligus ‘menulis’ melalui langkah konkret dalam sikap dan perjuangannya. Jika kita tak bisa menulis dengan merangkai huruf perhuruf, maka ‘menulis’ saja dengan langkah konkret yang nyata dalam kehidupan ini.
Begitulah sederhananya maksud saya mengucapkan: “Gus Dur itu penulis, maka jadilah penulis…”
Hanya saja saat itu saya tidak menguraikannya seperti ini. Omongan saya belepotan dan ngawur. Saya gerogi berat. Di samping kanan dan kiri saya ada kawan-kawan yang hebat, yang punya jabatan penting di tingkat kabupaten. Sedangkan saya cuma tukang ngopi.
Semoga Gus yang saya jumpai tadi tersenyum membaca tulisan singkat saya ini. Serta Gus Dur juga tersenyum di alam sana. Al-fatihah.
Banyuwangi, 30 Desember 2021
*Penulis buku Obrolan Lockdown. Tinggal di Rogojampi-Banyuwangi.