Oleh: Fressy Andrian
mepnews.id – Menurut penulis, tidak adil jika kita membandingkan sistem pendidikan Indonesia dengan sistem pendidikan negara lain. Alasannya, selain sumberdaya manusia berbeda, akses pendidikannya pun juga berbeda. Tetapi, untuk mendapat gambaran tentang apa yang harus dilakukan demi memajukan pendidikan di negara ini, generasi muda perlu tahu bahwa di Indonesia ini banyak sistem pendidikan yang berjalan.
Sebagai orang yang pernah nyantri dan sedang aktif dalam pengajaran di pondok pesantren, penulis tahu bahwa sistem pendidikan di Indonesia sudah terbagi menjadi yang kami sebut sebagai ‘sistem umum’ dan ‘sistem pondok pesantren.’ Sistem umum merujuk pada apa yang diatur oleh Kementrian Pendidikan maupun Kementrian Agama. Sistem pondok adalah yang diberlakukan di setiap pondok pesantren. Sistem ini bergantung tipe pondoknya; modern atau salafi.
Sebagai lembaga swasta, pondok pesantren mempunyai kemerdekaan untuk menerapkan sistem yang diterapkan dalam pendidikan. Ambil contoh, Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor. Pesantren ini memiliki kurikulum sendiri yang dikenal dengan Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI). Jika diterjemahkan bebas ke bahasa Indonesia, KMI adalah Sekolah Pengajar Islamiyah. Dalam kurikulumnya, Gontor mempersiapkan para santrinya menjadi pengajar/guru dengan masa tempuh belajar enam tahun. Dalam sistemnya, Gontor mengajarkan pelajaran Tarbiyah sejak tahun ketiga. Gontor juga mengajarkan materi umum seperti Matematika, Bahasa Indonesia dan materi lain, meski tidak menerapkan ujian akhir seperti sekolah umum lainnya. Gontor memilih untuk independen dan menciptakan standar sendiri yang harus diselesaikan dalam waktu enam tahun.
Perlu diketahui, tidak semua pesantren modern mengambil independensi seperti Gontor. Ada pesantren yang mengkombinasikan kurikulum seperti di Gontor sambil masih mengikuti kurikulum Kementrian. Contohnya, Ponpes Walisongo Ngabar yang menerapkan sistem KMI dan sistem seperti MTs dan MA pada umumnya. Pada dasarnya, pesantren modern memiliki ciri khas masing-masing dan tidak selalu KMI.
Di belahan Indonesia lainnya, ada pondok pesantren yang disebut salafi. Pondok-pondok ini terkenal dengan belajar Bahasa Arab dan kitab-kitab kuning, yang sebagian fokus terhadap diniyahnya. Pesantren jenis ini ada yang murni belajar kiab tanpa mengikuti pelajaran umum, dan ada juga yang membebaskan santri-santrinya untuk belajar di luar atau bahkan mendirikan MTs atau MA untuk memfasilitasi santrinya mendapat pelajaran umum.
Sebenarnya, pondok pesantren tidak murni terpisah antara modern atau salafi. Masih banyak juga model pengajaran lain. Hanya saja, fokus penulis adalah apakah pesantren tersebut mengambil kemerdekaan penuh untuk tidak mengikuti sistem yang ditetapkan Kementrian atau melakukan kombinasi.
Dengan mengambil kemerdekaan penuh, idealnya Gontor telah meluluskan ribuan pengajar yang beberapa hasilnya adalah mendirikan pesantren modern dengan model dan sistem yang mereka kehendaki sendiri. Ini sama halnya dengan lulusan salafi yang mendirikan pesantren mereka, meneruskan mengajarkan apa yang Pak Kyai mereka ajarkan.
Jika kita membandingkan sistem pengajaran antara di Indonesia dengan di negara lain, sudah pasti kita fokus pada kurikulum model apa yang ditetapkan oleh kementrian pendidikan di Indonesia dengan kementrian pendidikan di negara lain. Menurut penulis, itu tidak akan efektif. Jika kita mau fokus terhadap warna–warni pendidikan di Indonesia, banyak sekali harapan yang dapat kita gantungkan pada generasi mendatang.
Dari sisi santri, dengan berbagai macam pendidikan yang ditempuh di tiap-tiap pondok pesantren, maka dapat dihasilkan begitu banyak jenis pemikir. Ditambah lagi, kini santri juga semakin banyak menyebar dalam memilih pendidikan tinggi mereka. Universitas Islam Negeri maupun swasta juga semakin banyak. Setiap jenis pembelajar di Indonesia semakin mendapat akses pada pendidikan tinggi.
Jadi, bagaimana kalau kita mulai saja fokus pada sumberdaya manusia di Indonesia dengan latar belakang yang berbeda? Mari kita memaksimalkan apa yang dimiliki Indonesia sambil membenahi sistem pendidikan yang kurikulumnya kadang membuat pusing para pengajarnya sendiri. Bagaimana kalau kita mulai menengok pada pondok pesantren yang dapat bertahan dengan mengambil kemerdekaan dalam mengolah sistem hingga dapat bertahan bahkan lebih dari seratus tahun?