Oleh: Indri Lestari
mepnews.id – Memprihatinkan. Tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara, ujar Suhajar Diantoro selaku Staf Ahli Kementrian Dalam Negeri. Bagaimana nanti saat negeri ini mendapat bonus demografis pada tahun 2045?
Kemampuan literasi merupakan kemampuan untuk menulis, membaca, mengolah informasi dan pengetahuan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Fakta di atas menunjukkan, bangsa kita masih mempunyai kemampuan rendah di bidang tersebut.
Sebagai pengajar, hal ini jelas sangat menggangu saya. Saya ingin membangun utopia pendidikan di mana bangsa kita mampu menunjukkan tingkat literasi tinggi, mampu menyaingi bangsa maju lain. Bagi saya, salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kemampuan literasi adalah dengan menerapkan program mandatory reading atau wajib baca sejak dini.
Mari saya ceritakan beberapa kisah tentang kewajiban membaca. Saya punya kawan guru dari Amerika Serikat. Dia menceritakan, para siswa di sana sejak kelas 5 sudah diwajibkan membaca buku yang telah ditentukan sekolah maupun guru. Mereka biasanya membaca buku tersebut di rumah. Saat masuk sekolah, mereka berdiskusi dan menganalisis buku tersebut bersama guru dan teman-teman mereka.
Lain halnya dengan cerita yang saya dapatkan dari rekan guru dari Jepang. Dia juga menceritakan program wajib baca yang diterapkan sekolah. Aktivitas ini biasanya terjadi saat liburan musim panas (kisaran akhir Juli sampai Agustus). Sekolah menugaskan para murid membaca sebuah buku dan menulis essai setelahnya.
Ketetapan pemilihan bacaan untuk dijadikan tugas bukan hanya sekolah yang mengatur, tapi juga negara. Pemerintah negara menjadikannya bagian dari kurikulum yang dipakai sekolah. Sebut saja, Rusia. Pemerintah negara Rusia menerapkan mandatory reading kepada siswa menengah atas dengan mewajibkan baca buku Gulag Archipelago karya Alexander Solzhenitsyn.
Hal ini sangat menarik karena buku itu berisi kisah nyata mengenai ‘neraka Gulag’ yang dialami langsung oleh penulisnya. Ini berarti masyarakat Rusia wajib mengetahui sejarah bangsa mereka yang cemerlang maupun yang kelam. Buku tersebut pun sangat menarik karena berhasil memenangkan penghargaan prestisius yaitu Nobel sastra.
Lantas, bagaimana agar mandatory reading ini menjadi hal yang lumrah dan dapat diterapkan dengan maksimal di sini?
Memulai sejak dini adalah cara yang berarti. Kebetulan saya adalah pengajar murid SD. Saya ingin menerapkan program wajib baca ke murid-murid SD agar kelak mereka terbiasa mengasah kemampuan literasi di jenjang lebih tinggi. Namun, tentu saya tidak serta-merta menghadirkan buku tebal sebagai tugas mereka.
Mulailah dari hal yang kecil dulu. Misal, kita menyediakan pesan pendek yang mudah ditemukan di spanduk, flyer, atau brosur. Tentu tidak banyak kata yang tertera. Namun pasti ada hal atau inti yang dapat diambil para siswa dari pesan pendek itu.
Jangan hanya menanyai pendapat mereka tentang isi pesannya, namun mainkanlah logika mereka sedikit demi sedikit dengan memberi studi kasus mengenai pesan tersebut. Misal, jika situasinya di negara lain, apakah pesan yang disampaikan dapat mencapai kesepakatan atau tujuan yang diinginkan? Atau bagaimana menerapkan pesan tersebut di dunia nyata? Tentunya jangan lupa membuat produk hasil kreasi dan imajinasi mereka sendiri untuk mengetahui kadar pemahaman mereka. Tak lupa, sesuaikan materi dengan umur atau kemampuan mereka.
Mungkin…… Mungkin saja, dari penerapan yang sederhana namun berkelanjutan ini dapat membuat kemampuan literasi anak membaik.
Jangan lupa, tingkat kesulitannya dibuat berbeda. Jika di kelas bawah penerapannya sangat sederhana, di tingkat selanjutnya bisa dipersulit sedikit. Kiranya memang ini hal yang sulit, tapi tak ada salahnya mencoba. Saya pun ingin mencobanya.
Yah, mungkin ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan literasi. Tapi, bisa jadi mandatory reading dapat efektif bahkan mungkin dapat meningkatkan minat baca, dari awalnya yang terpaksa jadi dengan sukarela.
- Penulis adalah pengajar Bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar di Balikpapan. Tergila-gila dengan sejarah, seni, dan sastra, membuatnya ingin berkontribusi memberikan pengetahuan sebanyak-banyaknya. Salah satu caranya adalah dengan mengajar.