Bonus Demografis; Peluang atau Ancaman?

Oleh: Budi Winarto

mepnews.id – Bonus demografi adalah suatu kondisi saat populasi masyarakat didominasi individu-individu dengan usia produktif. Usia produktif yang dimaksud adalah 15 hingga 64 tahun. Titik ini menjadi peluang besar bagi negara manakala bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Momen ini tentu akan memberikan banyak perubahan dan penyesuaian pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jumlah usia produktif yang diperkirakan mencapai 60%-70% dari total penduduk akan berdampak.

Jika kesempatan ini bisa dimanfaatkan dengan baik, maka harapan untuk memajukan peradaban akan bisa terwujud.

Terbentuknya generasi usia produktif yang bedaya saing global dengan bekal bertanggugjawab, mengabdi, siap berkorban, membangun serta mengelola bangsa dan negara akan bisa menjadikan kesejahteraan dan roda perekonomian tumbuh pesat.

Sebaliknya, akan menjadi ‘bencana’ apabila kuantitas jumlah penduduk yang besar ini tidak diimbangi softskill ataupun kreativitas. Kondisi ini menyebabkan membludaknya angka pengangguran.

Apa hubungan bonus demografi dengan dunia pendidikan?

Tentu pendidikan akan membawa peran ‘perubahan’ bagi kemajuan ataupun sebaliknya.

Menengok data dan fakta pendidikan di Indonesia, mampukah pendidikan memberikan warna ‘perubahan’ pada siklus bonus demografi yang diperkirakan terjadi di tahun 2030 nanti?

U.S news and World Report merangkum peringkat sistem pendidikan terbaik di dunia. Peringkat ini di susun berdasarkan survei global berbasis persepsi yang menempatkan Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Kanada dan Perancis sebagai lima besar di dunia. Di tingkat Asia, ada Singapura, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Sementara, untuk peringkat dunia, Indonesia menduduki peringkat 55 dari 73 negara.

Dengan data tersebut, pendidikan di Indonesia harus terus berbenah menghadapi bonus demografi. Ketika pendidikan tidak mampu menyesuaikan dengan perubahan dan tantangan zaman dalam pengembangannya, maka bonus demografi ini akan menjadi ancaman.

Paradigma akan hakekat pendidikan yang sebenarnya harus terus diupayakan sehingga pendidikan ditempatkan pada posisi yang tepat dan bukan ‘kepentingan’ semata.

Saat ini, pendidikan di Indonesia masih lemah. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pendidik dalam mengenali potensi peserta didik.

Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada peserta didik untuk lebih kreatif, inofatif dan berkemajuan dalam pemikiran.

Penyebab lain dari rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standarisasi pengajaran.

Terus bagaimana cara kita agar bisa meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia sehingga bonus demorafi tidak menjadi acaman?

Salah satu solusi yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah dengan mengembalikan pendidikan pada hakekat dan fungsinya.

Pendidikan kita tentunya memiliki jati diri. Selama ini, metode untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia meniru pendidikan Barat. Selama pendidikan di Indonesia masih meniru, maka selama itulah dunia pendidikan tidak akan bisa maju dan berkembang. Hal ini dikarenakan sebaik dan sebagus apapun proses dan pelaksanaan pendidikan dari hasil tiruan, meskipun dari sistem yang hebat, tingkat kemajuannya maksimal akan terbatasi dengan produk yang kita tiru dan tidak akan punya ‘identitas’untuk berkembang lebih.

Oleh karenanya, kita harus bisa menciptakan sitem dan model pendidikan sendiri. Tentunya dengan mengkolaborasikan tantangan abad 21 dengan menengok sejarah munculnya cikal bakal pendidikan yang sudah digagas para tokoh dan pendiri bangsa.

Salah satu tokoh bangsa sekaligus Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa hakekat pendidikan adalah seluruh daya upaya yang dikerahkan secara terpadu untuk memerdekakan aspek lahir dan batin manusia. Pendidikan itu adalah konsep yang memerdekakan dalam konteks yang sesungguhnya. Hal semacam ini yang sampai sekarang kita hanya berkutat pada wilayah covernya saja.

Dari konsep ini sebernarnya sudah jelas bahwa arah pendidikan yang menampilkan kekhasan kultural serta menekankan pentingnya penumbuhan potensi peserta didik secara integratif. Pendidikan bukan hanya berhasil dengan secarik kertas petanda tamat dari belajar, melainkan bagaimana menciptakan manusia yang berbudi pekerti luhur serta memiliki kreativitas dengan nilai yang tertanam kasih sayang, cinta kedamaian, persaudaraan, kejujuran, kesopanan dan penghargaan terhadap kesetaraan derajat manusia.

Hal demikian masih belum kita dapatkan dari proses pendidikan yang ada sekarang. Pendidikan di Indonesia, yang dulunya kaya dengan humanisme, kini mulai luntur seiring dengan konsep ‘kebaratan’ yang lebih menekankan kognitif ketimbang integratif sehingga sifat ketimuran sebagai ciri khas masyarakat Indonesia tereduksi oleh sistem.

Tenaga pengajar lebih disibukkan dengan pemenuhan kewajiban administrasi yang dituntut harus diselesaikan. Sedangkan pemenuhan dan tanggung jawab sebagai pendidik terabaikan. Tidak jarang seorang pengajar menuntut siswa melaksanakan segala kompetensi yang sudah dibuat di atas kertas agar dilaksanakan oleh peserta didik.

Tetapi, di sisi lain, mampukah kompetesi yang sudah diberikan itu memiliki ketersesuaian dengan kompetensi yang di miliki peserta didik? Pernahkah kita memikirkan hal itu?

Betapa bahayanya jika kompetensi yang diajarkan sesungguhnya lebih kecil nilainya daripada kompetensi yang dimiliki peserta didik karena adanya batasan kompetensi yang dimiliki oleh pembuatnya. Dengan begitu sesungguhnya kita telah membatasi kreativitas dan kompetensi yang dimiliki peserta didik kita.

Sekali lagi, merdeka belajar hanya berada pada tataran konseptual yang belum bisa terealisasi sesuai hakekat dan kenyataanya.

Ini lah kalau boleh dikatakan potret pendidikan di Indoneisa. Lebih banyak ‘memaksa’ daripada membimbing dan mengarahkan.

Lantas apakah dunia pendidikan akan bisa berkontribusi dalam siklus bonus demografi untuk menbuat produktifitas generasi yang siap bersaing?

Jawabnya bisa, selama pendidikan di Indonesia menjadikan pengajar sebagai fasilitator dalam menumbuh-kembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik agar lebih terarah positif dan tidak destruktif, dan bukan sebaliknya.

Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Pendidik memberi teladan saat di depan, menyemangati dan memotivasi saat di tengah, serta mendukung dan menopang dari belakang. Tiga semboyan ini marwahnya harus terjaga ke hakekat yang sebenarnya agar sejarah dunia pendidikan hari ini akan menjadi legacy bagi 100 tahun ke depan untuk perubahan dan kemajuan bangsa melalui bonus demografinya.

 

* Penulis adalah pendidik di Mojokerto, Jawa Timur.

Facebook Comments

Comments are closed.