Mencoba Mengatasi Krisis Literasi

Oleh: Ulfa Binti Arafah 

mepnews.id – Menyongsong 100 tahun Republik Indonesia, sistem pendidikan di negeri kita tercinta tak lepas dari sorotan. Bagaimana tidak? Pendidikan sebagai tonggak utama kemajuan bangsa menjadi urgensi penting dalam hal ini. Tujuan utama pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, mendidik para peserta didiknya untuk menjadi manusia cerdas, serta berakhlakul karimah. Seiring tujuan tersebut, sistem pendidikan di Indonesia harus mampu berkembang dan bersaing dalam kancah internasional. Untuk itu, dibutuhkan calon generasi  penerus yang kreatif, inovatif dan inspiratif.

Namun, belakangan ini pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan –terlebih dalam hal budaya literasi.

Berdasarkan hasil Survey Programme For International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional pada tahun 2018, Indonesia mengalami penurunan dalam bidang membaca. Rata-rata kemampuan membaca negara yang tergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memiliki skor 487. Sedangkan Indonesia sendiri hanya memiliki skor 371. Hal ini menunjukkan Indonesia sedang mengalami krisis minat membaca atau krisis budaya literasi.

Literasi, yang diartikan sebagai kemampuan membaca, menulis dan berpikir, merupakan aspek penting dalam kehidupan bersosial. Lebih dari itu, literasi juga mengajarkan bagaimana manusia mampu berkomunikasi dengan baik, mengatasi berbagai macam persoalan, dan mampu bersikap sesuai pada tempatnya. Adanya literasi juga dapat membantu peserta didik mengembangkan potensi dirinya yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecakapan hidup, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan di masyarakat, bangsa, maupun negara. Maka, budaya literasi haruslah tertanam kuat dalam diri peserta didik, karena sebagian besar proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi.

Lalu, apa yang menyebabkan lemahnya budaya literasi pendidikan yang ada di negeri ini?

Salah satu jawabanya ialah kurangnya minat dan kesadaran literasi peserta didik untuk gemar membaca. Era teknologi yang semakin canggih justru membuat generasi muda enggan dan malas membaca atau sekadar membuka buku pelajaran sekolah. Mereka menilai, gampangnya menggunakan ponsel/gadget membuat persoalan tugas sudah terselesaikan. Padahal, dengan sering membaca buku, pengetahuan dan wawasan peserta didik semakin bertambah.

Salah satu faktor terpenting yang menyebabkan lemahnya budaya literasi di Indonesia adalah kurangnya pembiasaan membaca sejak usia dini. Hal ini juga dipengaruhi oleh background wali murid/orang tua yang jarang membiasakan anaknya membaca di rumah. Terlebih, di era saat ini yang semakin canggih dengan gadget dengan dunia media sosial lebih digemari anak-anak daripada membuka buku mata pelajaran. Mirisnya, saat anak-anak ini ditanya tentang siapa pahlawan perjuangan Indonesia, banyak dari mereka yang tidak hafal. Namun, saat menyebutkan siapa artis di media sosial, mereka dengan sigap langsung menyebutkan satu persatu. Pemandangan yang sangat memilukan.

Budaya belajar saat ini juga telah bergeser dengan menggunakan aplikasi canggih. Mereka tidak lagi mencari pemahaman dalam buku mata pelajaran sekolah, namun tinggal satu klik dari HP dan mencari lewat google untuk langsung mendapat jawabannya. Hal ini semakin menjadikan mereka malas membaca buku.

Faktor lain yang mempengaruhi berkurangnya minat baca yaitu kurangnya motivasi. Rendahnya tingkat kesadaran dalam diri untuk mengetahui manfaat gemar membaca menjadikan seseorang bersikap tak acuh. Jika disadari betapa pentingnya membaca maka seseorang akan semakin tertarik untuk membaca. Banyak anak remaja saat ini yang mengesampingkan membaca buku tapi lebih memilih berjibaku dengan ponsel. Jangankan membaca buku di perpustakaan, sekadar membaca buku mata pelajaran yang ada dirumah pun mereka enggan.

Apa yang akan diharapkan dari generasi penerus muda ini bila budaya minat baca saja sangatlah rendah?

Data UNESCO mencatat, hanya 0,001 % masyarakat Indonesia yang rajin membaca. Artinya, masih sangat sedikit mau mempelajari budaya literasi. Jelas ini sangat memprihatinkan. Jumlah penduduk sangat banyak, tapi sama sekali tidak peduli terhadap literasi.

Tanpa disadari, dampak dari rendahnya tingkat budaya literasi di Indonesia adalah generasi muda jadi generasi pemalas. Generasi pemalas ini, karena kurangnya literasi dan wawasan,  suatu saat akan menjadi momok bagi negara saat harus menghadapi persaingan global dari negara lain.

Dalam waktu sangat dekat, persaingan global semakin ketat. Hanya yang cerdas, yang kreatif, inovatif dan mampu bersaing dalam pengembangan diri lah yang akan mampu menghadapi persaingan dunia yang semakin  keras. Maka, sangat rugi sekali jika anak-anak muda saat ini hanya mengandalkan gadget untuk menghabiskan waktu dengan sia-sia.

Di era digital yang semua serba canggih, dibutuhkan kemampuan pengembangan diri yang optimal dan tidak bergantung pada mereka yang malas berpikir. Maka, sulitnya mencari pekerjaan akan dirasakan generasi muda karena minimya ilmu pengetahuan dan wawasan mereka. Dalam hubungan sosial pun, lambat laut mereka semakin tertinggal karena tidak mampu berkomunikasi dengan baik. Generasi milenial ini juga akan mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada problematika atau permasalahan hidup yang besar dan berat. Akibatnya, mereka hanya akan menyusahkan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Keegoisan pada diri sendiri, cuek terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya hingga menjadi manusia yang tidak bermanfaat bagi orang lain.

Naudzubillah. Padahal, sebaik-baik manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi sesamanya. Karena dalam hidup ini kita harus saling mengerti, memahami dan tolong-menolong antar sesama. Itulah pentingnya literasi bagi kehidupan manusia.

Oleh karena itu, untuk mengatasi rendahnya literasi pendidikan di Indonesia saat ini, perlu adanya kerjasama antara wali murid/orang tua, sekolah dan pemerintah, untuk menentukan strategi pendidikan yang tepat menuju 100 tahun Republik Indonesiia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa orang tua juga memiliki andil besar dalam meningkatkan motivasi gemar membaca. Bersama orang tua, peserta didik lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sekolah. Peran orang tua yang memiliki kontrol penuh atas anaknya bisa memberikan dorongan atau semangat agar anaknya melakukan kebiasaan membaca di rumah.

Bagaimana caranya? Dimulai dari pengurangan memegang ponsel saat jam belajar. Kemudian, ajak anak untuk saling berdiskusi, menyisihkan waktu untuk membaca, membatasi anak menonton video atau gambar-gambar yang tidak sesuai dengan umurnya dan melatih anak agar memiliki target membaca dalam satu hari hingga membuat list atau jadwal hariaan membaca.

Peran sekolah juga besar. Para guru juga harus membiasakan muridnya pada jam istirahat untuk mengunjungi perpustakaan sekolah. Memberi tugas kepada siswa di rumah dengan mewajibkan membaca pada mata pelajaran tertentu yang terdapat cerita atau kisah di dalamnya. Guru harus sabar mendampingi dan membimbing siswanya bila ada beberapa peserta didik yang belum bisa membaca.

Pemerintah telah mendukung. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) untuk meningkatkan daya baca siswa. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggerakkan literasi bangsa.

Gerakan literasi ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab semua pemangku kepentingan. Itu termasuk dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi sosial, pegiat literasi, orang tua, dan masyarakat. Diharapkan, hal ini mampu menumbuh-kembangkan dan membudayakan literasi di Indonesia sehingga tujuan dari literasi pendidikan bisa tercapai dengan maksimal dan memberi dampak positif.

 

  • Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Program S2 jurusan Magister Manajemen Pendidikan Islam di IAIN Ponorogo.

Email : ulfaarafah97@gmail.com

Facebook Comments

Comments are closed.