Visi 100 Tahun RI; Pendidikan Hybrid

Oleh: Teguh W. Utomo

mepnews.id – Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini. Seiring waktu, apa yang dianggap usang akan diganti dengan yang baru. Apa yang dianggap ‘abadi’ bisa saja tiba-tiba dirombak oleh perkembangan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Sistem pendidikan pun beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Kondisi apa yang akan dihadapi sistem pendidikan saat Indonesia berusia 100 tahun pada 2045?

Segala sesuatu bisa saja terjadi di masa depan. Jangankan 24 tahun, sehari saja bisa terjadi perombakan besar. Meski sulit memastikan masa depan, tren yang berkembang belakangan ini bisa jadi pijakan untuk menentukan visi.

Hari ini, kita melihat perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi merevolusi cara anak, remaja, dan orang dewasa untuk belajar. Transisi saat ini sedang berlangsung, dan bisa berlanjut sepanjang abad ini. Salah satu pemicunya adalah pandemi COVID-19.

Meningkatnya akses internet dan munculnya teknologi baru akan secara dramatis mengubah cara berfikir kita tentang pendidikan. Internet berkembang pesat karena triliunan perangkat, kamera, sensor, rumah, dan lain-lain sudah terhubung ke internet. Jangan heran jika sekarang sudah ‘dikit-dikit internet’. Karena sudah ada ekspansi besar-besaran ‘Internet of Things’.

Bagi generasi mendatang, pembelajaran di masa depan akan tampak lebih seperti bermain daripada bersekolah. Sistem pembelajaran dengan struktur terpusat akan semakin dikendurkan, dan lebih tersentra pada siswa. Informasi tidak harus didistribukan di sekolah, tapi bisa di mana saja. Siswa jadi lebih leluasa mengelola pembelajarannya sendiri.

Sistem pembelajaran online, yang pada masa pandemi sangat digiatkan, punya banyak keuntungan yang bisa dioptimalkan di masa datang. Mungkin sekarang masih tahap coba-coba. Di masa datang, pembelajaran online sangat mungkin disandingkan dengan pembelajaran tatap muka. Tinggal pilih pelajaran apa yang lebih cocok disampaikan secara online atau lebih cocok tatap muka.

Dengan meningkatkan infrastruktur teknologi, pembelajaran jarak jauh ini bisa menjangkau banyak siswa di kawasan terpencil. Jika akses internet makin mudah, pembelajaran online akan semakin terjangkau sehingga memunculkan sentra-sentra baru pembelajaran. Bahkan, daerah yang dulu dianggap belum maju, bisa jadi menjadi mercu suar Pendidikan karena dukungan teknologi.

Jika pemerintah mendukung, ada beberapa teknologi yang akan membuat pembelajaran jadi jauh lebih virtual, imersif, dan praktis. Teknologi itu antara lain augmented reality (AR), virtual reality (VR), haptics, cloud computing, dan machine learning (AI). Kemajuan teknologi di bidang ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pendidikan.

AR mengacu pada interaksi dengan lingkungan fisik yang ditingkatkan, dengan bantuan gambar dan suara yang dimediasi komputer. VR adalah interaksi dengan lingkungan simulasi yang dihasilkan komputer. Tak lama lagi, garis batas antara yang simulasi dan yang fisik ini akan kabur ke titik yang hampir tidak dapat dibedakan. Ini berkat kemajuan dalam haptics yakni teknologi yang merangsang indera kita. Selanjutnya, cloud computing akan membawa ‘ledakan’ jumlah data yang bisa dihasilkan atau diakses kelas. Sekarang saja sudah mulai seperti itu.

Bagaimana dengan guru?

Tetap saja, guru menjadi pembimbing namun makin ke arah fasilitator. Peran guru tidak hanya menyampaikan pengetahuan tetapi juga mengidentifikasi kekuatan, minat, dan bakat, dan keistimewaan siswa. Tugas utama guru adalah membimbing siswa di bidang-bidang di mana para siswa membutuhkan. Sebagai fasilitator, guru juga mendukung siswa dalam mengembangkan cara berpikir dan belajar. Guru membantu mengembangkan rencana pembelajaran siswa untuk memperoleh semua rangkaian keterampilan yang diperlukan. Rangkaian ketrampilan ini dibutuhkan siswa agar dapat beradaptasi dengan paradigma karir apa pun yang akan muncul di masa depan.

Meski sudah sangat teknologis, pendidikan kecakapan sosial dan emosional harus tetap menjadi prioritas. Lapangan kerja di masa depan membutuhkan skill; kreativitas, kolaborasi, komunikasi, berfikir kritis, dan penyelesaian masalah. Agar para siswa mendapatkan kompetensi di bidang itu, di tempat belajar mereka perlu diajari beberapa skill itu lewas diskusi, kerja kelompok, menemukan dan memecahkan masalah, dan lain-lain.

Apa lagi?

Pendidikan non-formal juga akan semakin menjadi alternatif pilihan. Pada tahap tertentu, anak-anak atau remaja tidak membutuhkan sekadar ijazah. Mereka ingin memiliki sesuatu yang benar-benar bernilai bagi kehidupan. Sesuatu ini bisa saja didapatkan di berbagai pendidikan non-formal.

Saat dilahirkan, setiap kita sebenarnya sudah mendapatkan pendidikan non-formal dari orang tua, lingkungan, dan lain-lain. Begitu masuk sekolah, pendidikannya jadi formal. Kalau mau belajar tentang apa saja di luar sekolah, kita sudah masuk pendidikan non-formal lagi.

Pendidikan non-formal ini memberi kita peluang untuk menjadi peserta nyata dalam proses pembelajaran yang kita butuhkan atau inginkan. Maka, pendidikan non-formal ini bisa berlanjut hingga batas umur kita.

Tentu, ada banyak perkembangan lain. Kita harus antisipasi agar pendidikan kita tidak terbelakang dibanding pendidikan di negara-negara lain.

Facebook Comments

Comments are closed.