Oleh: Moh. Husen
mepnews.id – Berita kematian seakan-akan bertubi-tubi bermunculan tiap hari. Satu hari dalam satu dusun bisa tiga kabar orang meninggal. Kemudian pindah-pindah dusun. Sehari dalam satu desa saja bisa setidaknya ada satu kabar orang meninggal.
Ada yang karena COVID-19, ada juga yang tidak. Kematian yang terjadi di mana-mana dan hampir setiap hari ini seakan kita dalam kondisi perang. Lihatlah seorang ayah meninggal dan anak-anaknya jadi yatim. Lihatlah ibunya yang meninggal, dan anaknya menjadi piatu.
Belum lagi kasak-kusuk kabar jeritan ekonomi. Mulai dari derita pengangguran hingga kesulitan bayar hutang bulanan, mingguan, harian dengan adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang tujuannya mengendalikan membludaknya kasus COVID-19.
Seseorang yang bekerja di malam hari, kemudian bosnya bilang harus tutup dan berhenti, bisakah iseng-iseng membayangkan bagaimana nafkah sehari-hari anak istrinya? Apa asal tidak sambat dikira mesti bisa makan? Bukankah tidak sambat bisa karena wegah diceramahi dan yang menceramahi juga terbukti enggan tak mau berbagi?
Bukankah pinjam uang sepuluh ribu saja terkadang kita dipaksa “telanjang” dengan pertanyaan, buat apa? Apakah uang sepuluh ribu itu bisa buat maksiat? Apakah ada yang telinganya tega jika jawaban pinjam uang sepuluh ribu buat nyambung nafkah anak istri sebentar?
Sungguh pun demikian tiba-tiba ada “humor yang sangat lucu dan menghibur” bahwa seorang kepala desa melakukan hajatan pernikahan anaknya di balai desa di tengah-tengah situasi berlangsungnya PPKM Darurat, sedangkan di daerah lain pedagang kompor keliling saja dilarang demo kompor masak meskipun warga yang melihat disuruh jaga jarak.
Belum lagi kemarin kita melihat pertandingan sepakbola Euro 2020, yang membuat sebagian orang bertanya tanpa sumber, apakah berarti Corona di sana sudah berkurang atau mereda, atau sebenarnya Corona tak pernah ada sehingga di Eropa berani turnamen sepakbola tanpa peduli jaga jarak?
Meskipun demikian pemerintah juga turun tangan dengan membagikan bantuan sosial yang seandainya tak mencukupi, semoga ada tangan-tangan non formal yang bermurah hati untuk saling berbagi di tengah musim pandemi ini.
Bertubi-tubi masalah, kabar duka dan derita pedih mengepung kita. Namun, percayalah, masih ada celah-celah untuk bersyukur, meskipun celah itu “hanyalah” bahwa kita masih sehat dan bisa hidup hingga hari ini. Saya kira itu sebuah keajaiban yang luar biasa terutama bagi orang-orang kecil seperti saya. Hidup saja sudah ajaib.
Semoga Allah Sang Maha Pengampun dan Sang Maha Pemurah segera membantu kesulitan-kesulitan kita. La ilaha illa Anta, subhanaKa inni kuntu minaddholimin. La haula wa la quwwata illa billah. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad. Amin ya Rabbal alamin.
Banyuwangi, 15 Juli 2021