Oleh: M. Yazid Mar’i
mepnews.id – Goreng.. goreng.. goreng…, masak, tumis. Begitu iklan salah satu produk minyak goreng. Tentu jika bahan makanan atau sejenisnya yang digoreng, rasa nikmat lah yang hadir kemudian. Namun bagaimana jika ‘haji’ yang digoreng? Maka, rentetan kegaduhan lah yang terjadi kemudian. Karl Marx dalam teori konflik di Das Kapital menyebut, kegaduhan atau konflik merupakan prasyarat terjadinya perubahan sosial masyarakat. Namun, ini urusan haji yang sudah pakem.
Haji, bagi muslim, adalah rukun. Artinya, ini kewajiban mutlak yang harus dilakukan untuk menyempurnakan statusnya sebagai muslim. Maka, meraih status haji membutuhkan perjuangan dan pengorbanan besar yang mengalahkan segala kebutuhan semacam mobil mewah dan barang mewah lainnya. Bahkan, di daerah tertentu, haji merupakan status sosial tertinggi dengan segala rangkaian upacara yang menyertai.
Pada masa pandemi COVID-19, jamaah haji Indonesia gagal berangkat dalam kurun dua tahun terahir. Di satu sisi, ini dianggap sebagai kewajaran. Di sisi lain, ini menjadi peristiwa luar biasa dan dengan efek positif – negatif yang saling tarik ulur, tergantung sisi pandang, bahkan tergantung ‘kepentingan’ masing-masing.
Persoalan menjadi rumit ketika statement yang menghiasi media sosial bersliweran tak terbendung. Bahkan itu terkadang menjadi ‘kitab’ yang membenarkan segalanya, melebihi ‘kitab sesungguhnya’. Alhasil, teknologi berhasil menggeser kepercayaan dan keyakinan masyarakat. Tidak ada kebenaran mutlak terhadap kemutlakan. ‘Patron’ pun menjadi kian bergeser, tergerus, dan bahkan hilang.
Spekulasi persepsi pun bertarung mencari ruang pembenaran, dengan media sosial sebagai kertas elektronik yang bebas tak terbatas. Ada yang menyebut, dana haji telah habis terkuras. Ada pula menyebut pemberangkatan haji sebagai kekalahan politik terkait ‘ugo rampen‘ penanganan pandemi yang berbeda dengan negara yang akan menerimanya.
Memperhatikan kondisi sosial kebangsaan, sebagai salah satu organisasi terbesar di Indonesia, PP Muhammadiyah memberikan statement sebagai kontribusi positif demi keselamatan nyawa warga negara. Sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, sebagaimana dilansir detikcom edisi 2 Juni 2021, menyarankan pemerintah tidak memberangkatkan jamaah haji tahun 2021 dengan alasan kesehatan. Beliau pun menguatkan, pembatalan tidak menyalahi UU haji dan syariat. Karena syarat dibolehkannya haji adalah keamanan, keselamatan, dan ketertiban.
Senada dengan PP Muhammadiyah, Sekjen PB NU Helmy Faisal memberikan pernyataan bahwa menjaga keselamatan jiwa adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda. Beliau menguatkan, mengerjakan jamaah haji termasuk maqasidhul syariah yakni suatu ajaran agama. Tetapi beribadah dalam keadaan darurat adalah sesuatu yang bisa ditunda. Pernyataan ini mengamini keputusan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers yang digelar Kementerian Agama 3 Juni 2021.
Perspektif fiqih terdapat qaidah ushul, seperti disebut Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, dalam qowaid fiqh Iyah, menyebut, “Dar’ul Mafsidi Awla Min Jalbil-Masholihi” yang artinya “Menghilangkan kemadharatan lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan.” Ini tentu juga menjadi alasan pembenaran terhadap penundaan keberangkatan jamaah haji Indonesia pada masa pandemi COVID-19.
Kiranya cukup realistis alasan penundaan keberangkatan jamaah haji ahun 2021, tetapi mengapa harus digoreng?
*) Penulis adalah Presidium KAHMI Bojonegoro