Oleh: Moh. Husen
mepnews – Akhir-akhir ini seorang penikmat kopi hitam terlihat sering tidak tidur semalaman hingga pagi meskipun bukan tanpa alasan. Soal bikin alasan, dia tergolong sangat canggih dan selalu dipilihnya alasan yang paling sopan dan berakhlak menurutnya.
Artinya menurut orang lain bisa tidak sopan, keliru, atau tak bisa dipercaya. Terlebih lagi saat dompet menipis serta masa depan mulai terlihatnya agak buram. Alasan yang “tidak-tidak” biasanya selalu bermunculan.
Tapi, apapun itu, untuk menghibur diri kita yang mungkin sedang penat dengan berita-berita aktual yang mungkin dianggap kurang bersahabat hari-hari ini, marilah kita simak saja percikan percakapannya di warung kopi mengenai alasan yang menurutnya berakhlak itu.
“Contohnya begini,” katanya suatu ketika kepada teman ngopinya, “masak orang macam saya ini pantas untuk bilang saya sedang latihan sabar, saya sedang latihan menahan diri, menahan emosi. Apalagi bilang saya sedang tirakat. Rasanya kok tidak sopan dan kurang berakhlak sekali. Potongan saya kok berlatih sabar. Terasa sok gaya sekali.”
“Saya ini,” katanya lagi, “kalau terlihat tidak tidur semalaman alasan cocoknya ya menahan tidur. Itu alasan yang beradab menurut saya. Mosok saya ngomong berlatih menahan emosi. Sangat tidak cocok dan kurang pas. Kata menahan emosi itu cocoknya bagi orang yang bersih-bersih berbaju rapi saja. Lha, orang kotor penuh lumpur kegelapan macam saya ini, ya cocoknya bilang menahan tidur.”
“Atau,” lanjutnya lagi, “ada alasan yang agak keren. Yakni delayed gratification. Menahan hadiah. Bagiku tidur adalah hadiah yang sangat nikmat dari Tuhan yang sedang aku coba tahan-tahan. Klik di google pengertian dan fungsi delayed gratification. Teorinya, pilih mana, kue satu sekarang juga atau menahan diri 15 menit tapi dapat dua kue?”
Karena yang diajak ngomong masih lebih menyukai diam saja, si penikmat kopi hitam lantas melanjutkan ke tema dakwah yang sebenarnya sedang dia gelisahkan. Tak bisa dibayangkan jika hidup ini berjalan tanpa dakwah. Orang sudah acuh tak acuh akan pentingnya dakwah.
Akan tetapi meskipun dia sadar bahwa dakwah itu penting dan harus, tapi lagi-lagi alasan klasiknya adalah demi kepantasan diri dan akhlak pribadi, dia sangat jarang atau hampir-hampir tidak pernah menyebut dakwah dalam setiap omongannya.
Menurutnya manusia jangan dibiarkan begitu saja. Kalau dibiarkan, mereka akan ngawur betulan, pelit betulan, malas zakat dan shodaqoh betulan, hidup yang penting gue bisa makan dan ngapain harus peduli orang kelaparan, hingga memeras, memiskinkan, menghinakan, mendholimi orang kecil, dan seterusnya.
Di sinilah dakwah itu penting. Menyerukan kebaikan itu penting. Dakwah itu harus. Meskipun boleh-boleh saja dakwah dikemas dalam bentuk apa saja. Bahkan boleh lewat protes sosial agar orang kecil tidak semakin dianggap tidak ada, dianggap tak punya daya, serta terbuang terkapar sunyi dalam remang-remang nista kehidupan.
“Tapi, sekali lagi, mana pantas semua omong-omong kita ini disebut berdakwah? Apalagi gak ada ayat Qur’an atau Hadits yang bertaburan. Jadi ngobrol-ngobrol kita ini jika aku tulis akan sia-sia jika tak berdakwah. Aku yang kotor ini benar-benar tidak cocok berdakwah. Cocoknya itu ya ngopi-ngopi, ngomong ngalor-ngidul, dan ngelindur, hahahaha…”
Si penikmat kopi hitam tertawa. Teman ngopinya juga tertawa seraya bilang agak sinis: “Halahhhh gayamu saja kayak tidak tahu. Ente kan sudah tahu ayam ya tetap ayam meskipun disebut kambing. Dakwah tetap dakwah meskipun disebut protes sosial atau bernyanyi. Ente jangan belagak bego gitu dong, hehehehe…”
(Banyuwangi, 16 Maret 2021)