Potret Bangsa (Bukan) Primitif

Oleh: Aditya Akbar Hakim

MEPNews.id – Hidup di era serba digital. Ternyata tak menjamin bila manusianya ikut pula menjadi modern. Jikalau kita berani jujur. Indonesia saat ini. Masyarakat kita dewasa ini. Pada kenyataannya belumlah sepenuhnya layak disebut modern. Hampir sebagian mereka. Mayoritas gaya hidupnya saja yang modern. Tapi cara berpikirnya masih terbelakang. Kebiasaan mereka baru sebatas meneruskan pola kehidupan bangsa primitif.

Artinya, bangsa ini belum juga sepenuhnya sadar akan ketertinggalannya. Filosofi hidupnya masih standar rata-rata. Masyarakat kita belum yakin betul. Bila membudayakan membaca dan menulis merupakan jalan menuju ke kehidupan modern.

Manusia di republik tercinta, ternyata masih nyaman dengan jati diri aslinya. Yakni, mereka bangga sebab telah pintar jadi pembicara. Dan mereka amat senang sekaligus terhibur sebab hobinya jadi penonton. Mereka sudah cukup puas hanya dengan menonton dan berbicara.

Itulah citra manusia kodrati. Yakni manusia yang menerima begitu saja kemampuan berbahasanya. Manusia yang tak mau keluar dari keterkungkungannya. Manusia yang boleh jadi masih menderita kebutaan aksara. Manusia yang belum sepenuhnya paham bila hanya dengan membaca dan menulis potensi dirinya pasti dapat melejit.

Menonton dan berbicara. Secara naluri. Tanpa diajari. Semua orang bisa. Dan suatu saat akan mahir melakukannya. Tak perlu latihan. Apalagi belajar secara tekun untuk mencapai derajat pintar.

Akan sangat berbeda dengan membaca dan menulis. Yang ini adalah murni keterampilan. Untuk terampil butuh latihan. Berlatih terus secara kontinyu berkelanjutan tak putus. Agar terbebas dari sebutan manusia primitif. Maka, sejak seorang anak masuk ke kampung persekolahan. Mulai kelas 1 SD hingga kelas XII SMA. Selama 12 tahun awal proses belajar. Di situlah benih keterampilan membaca dan menulis perlu diajarkan secara kontekstual.

Tanpa itu, jangan ada harapan terlalu muluk diletakkan di pundak anak bangsa. Kalau pun mereka dibebani tanggung jawab. Hasilnya pasti acak-acakkan. Belum matang potensinya mereka. Sama sekali masih rentan mentalitasnya mereka. Begitu gampang mereka digiring ke sana-kemari oleh keadaan. Mereka bagai manusia kaca. Yang rentan terhadap tantangan. Lantas mereka pun menjadi pengekor. Cukup puas jadi penikmat. Bahkan tidak gusar dicekoki racun ke dalam tubuhnya.

Tulisan ini sama sekali bukan mengajak kita memelihara pesimis. Hari depan bangsa ini sungguh amat benderang. Melalui pesan ini. Penulis berupaya untuk mengusik nurani setiap anak bangsa. Mereka yang merasa terpanggil untuk kemudian bersama-sama bergerak menuju ke perubahan cara pandang. Berubah dari terkungkung menuju terbebas. Kita harus mentas dari keterjajahan terselubung ini.

Modal besar bangsa telah tersedia. Yakni berupa SDA melimpah. Dan ini patut kita syukuri. Tak cukup dengan syukur. Modal besar itu wajib pula kita barengi dengan iktikad baik. Tekad dan antusiasme tinggi untuk berbenah.
Berbekal seperangkat sikap mental itu. Kemudian kita mulai dari diri sendiri. Lantas kita saling mengajak untuk berbenah. Hingga setiap SDM menjadi kualitas intan. Karena, tak akan bernama intan bila tetap berada di balik cangkangnya yang mengurung. Intan harus dikupas kemudian diproses barulah bernama intan. Kita tentu ingin intan-intan itu nanti segera bermunculan. Agar bangsa ini tak lagi menjadi seolah-olah bangsa primitif yang hidup di alam modern.

Martabat bangsa ini pasti terdongkrak bila semua masyarakatnya berbudaya membaca. Apalagi mau menulis. Terutama membaca dan menulis buku. Sebaliknya, harga diri bangsa akan semakin melorot terperosok ke dalam kubangan lumpur primitif. Bila masyarakatnya tak segera mentas dari naluri kodratinya. Merasa cukup hanya dengan menonton dan berbicara.

Sebutan Indonesia sebagai negara berkembang. Haruslah segera kita ganti. Caranya, kita budayakan gemar membaca dan menulis. Minat baca tulis mesti tinggi. Kita tinggalkan budaya primitif itu. Kita mulai dari diri sendiri. Dari keluarga. Dari sekolah. Dari lingkungan tempat tinggal kita. Dan dari setiap tempat di mana kita mendedikasikan diri. Untuk tanah air tercinta. Kita dobrak kebiasaan kuno. Pelan-pelan kita mulai membiasakan diri dengan pola hidup modern. Hidup yang berbingkai aktivitas membaca dan menulis.

Yuk, di mana dan kapan pun. Mari kita gelorakan. Perlu kita viralkan. Kemudian katakan selamat tinggal. Enyalah budaya primitif tadi. Setelah itu, kita sambut sebutan baru untuk bangsa tercinta ini. Bangsa yang benar-benar modern. Bangsa yang masyarakatnya berkualitas intan. Yang setiap pemikirannya brilian. Dan yang gagasannya pun cemerlang.

barbartoto
barbartoto

Facebook Comments

Comments are closed.