Oleh: Aditya Akbar Hakim
MEPNews.id – Memang data ini rilis tiga tahun silam. Namun, ulasan kolom Jati Diri di harian Jawa Pos pada 3 Mei 2018 tersebut. Barangkali masih amat relevan hingga sekarang, sebab ada fakta cukup menarik. Dari total 132.022 unit SD, baru 81.714 sekolah yang memiliki perpustakaan. Masih ada 50.308 SD di berbagai pelosok Indonesia yang tak mempunyai perpustakaan.
Diakui atau tidak. Belum semua sekolah di negeri ini terakses pada sumber bacaan. Di banyak daerah. Terutama pada sekolah-sekolah di pelosok negeri . Hampir dipastikan. Di situ akan terisolir dari ketersediaan bahan bacaan. Tolok ukurnya ada pada perpustakaan di sekolah-sekolah tersebut. Apakah perpusnya memang benar-benar bagus, telah layak, atau memadai, dan jangan-jangan bahkan justru belum ada.
Dari data di atas. Kita mungkin agak kaget. Sungguh betapa selama ini. Alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20% itu. Ternyata realisasinya tak pernah ada yang tercapai. Jangankan separuhnya. Melebihi angka 10% pun tidak. Hal ini tentu anomali. Sebuah paradoks yang amat nyata. Setiap komponen anak bangsa. Seharusnya tergerak untuk saling memberikan kontribusi.
Minimal kita bisa sumbang saran kepada pemerintah daerah. Bahwa hanya dengan memenuhi target 20% itulah. Kualitas pendidikan di setiap daerah dengan ratusan sekolahnya itu dapat terkondisikan secara maksimal. Artinya, anggaran yang tinggi jika berhasil diserap oleh lembaga-lembaga sekolah. Hal ini tentu akan berdampak bagus bagi perkembangan sekolah tersebut. Dan paling logis. Suntikan dana dari kas negara itu. Ada baiknya alokasi sebagian adalah digunakan penyediaan sumber bacaan.
Ada pun, indikasi dari kualitas lembaga pendidikan. Salah satu intrumen penilaiaannya ada pada kualitas perpustakaannya tersebut. Jika kondisi perpusnya bagus. Koleksi buku-bukunya banyak jumlahnya. Termasuk ragam buku yang disediakan pun bervariasi. Hal ini artinya, lembaga itu memang berkualitas satu.
Begitu pun sebaliknya. Tatkala di suatu lembaga pendidikan. Malah untuk mencari di mana letak perpustakaannya saja kesulitan. Atau justru tidak ditemukan. Alias belum tersedianya ruangan yang khusus dipergunakan untuk tempat para siswa berinterkasi dengan sumber bacaan. Hal ini berarti, sekolah ini dalam posisi gawat darurat. Lembaga ini dalam keadaan sakit parah.
Tak perlu dulu bicara kualitas dan prestasi peserta didik. Andai perpustakaan belum tersedia. Kalaupun sekolah itu mampu mendulang prestasi. Hal ini tak lebih dari sekadar prestasi akademik. Maksudnya, prestasi yang dihasilkan itu. Tak lain adalah prestasi yang sama sekali tak bersentuhan langsung dengan aktivitas membaca dan menulis. Dua aktivitas pokok yang menjadi ruh dari kegiatan di suatu lembaga pendidikan.
Mendidik anak untuk gemar membaca. Cara paling efektif tentu sesering mungkin mengajak mereka untuk terbiasa dan akrab dengan suasana perpustakaan. Di sekolah itulah sejatinya anak bisa bercengkrama secara langsung dan maksimal dengan buku bacaan. Sebab tatkala mereka telah pulang ke rumah. Belum ada jaminan mereka dapat meneruskan kebiasaan positif yang telah dilakukan di sekolah tadi.
Dengan demikian. Sinergi antara pihak sekolah, keluarga, serta lingkungan. Demi mengondisikan anak-anak agar senantiasa gemar membaca. Merupakan syarat multak. Tanpa keterhubungan ini. Hasilnya akan naif belaka. Susah untuk mengharapkan hasil yang menggembirakan. Demikian.