Oleh: Aditya Akbar Hakim
MEPNews.id – Publik di tanah air, sepertinya sudah kebal informasi ketika ada saja, pejabat yang tersandung perkara korupsi. Korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa. Namun, seperti perilaku yang telah biasa begitu saja. Itu bermula dari seringnya kita menerima kabar para pejabat yang terciduk oleh pihak KPK.
Di sini bukan tentang siapa tersandung perkara apa. Yang membuat miris pun ironi. Mengapa di saat gaji, tunjangan, bahkan pretise sebagai pejabat telah didapat. Malah masih terbersit melakukan tindakan tak terpuji nir-martabat. Sungguh, putus sudah tali rasa malu. Tampak jika tidak ada kepekaan terhadap bagaimana nasib rakyat.
Ingatlah, menjadi pemimpin dalam hal ini pejabat publik adalah tanggung jawab tingkat tinggi. Ada laporan lintas dimensi, di dunia di hadapan sesama manusia boleh saja ada manipulasi. Akan tetapi, kelak saat di alam abadi, semua tipu daya tak lagi berarti di depan mahkamah Illahi Rabbi.
Memang tabiat manusia adalah kurang yakin pada apa yang belum terjadi, kita masih kerap sangsi, apalagi menyangkut kehidupan akhirat. Orang boleh percaya akan datangnya hari kiamat, lantaran percaya itu hanya sekadarnya, malah acapkali tak pernah menghujam ke laku perbuatan. Yakni perilaku yang sanggup jadi alarm diri agar jangan rakus pada perkara dunia yang kerap menipu.
Mereka yang korupsi, jelas bukan pribadi nir kecerdasan. Mereka punya sisi religiusitas tapi tak mampu jadi tameng diri. Semua ironi menjadi makin menjadi-jadi saat kesempatan ada di depan mata. Alih-alih jabatan selaku pemimpin dibuat sebagai sarana tebar manfaat. Namun, yang terjadi malah melakukan tindakan berujung maksiat.
Kita mesti renungkan, betapa Rasulullah pernah menyampaikan hadis. “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seorang yang memasukkan sekerat daging haram ke perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari, dan barang siapa yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba, maka neraka lebih utama untuk membakarnya.” (HR Muslim)
Ancaman neraka tentu tak akan berdampak apa pun, bila mental sesat plus pikiran pragmatis telah menyatu dalam karakter pribadi. Padahal sudah tinggi pangkat dunianya, tiba-tiba ditakuti-takuti dengan ancaman yang masih nanti. Di titik ini akan timbul persoalan, mengapa sesuatu yang jelas dan pasti terjadi. Justru kalah oleh dorongan nafsu. Sifat serakah, rakus, dan tak tahu malu lebih menang dibanding sifat qanaah, syukur, dan tahu diri.
Sungguh menjadi pejabat itu menggoda, sebab di situ penuh taburan nikmat alih-alih membuat yang bersangkutan takut akan siksa bila tak mampu amanah. Seharusnya, siapa pun kita ketika ingin menjadi pejabat, haruslah selesai dengan urusan diri, tuntas sudah urusan perut dan materi barulah menerima tanggung jawab memikul amanah. Namun sayang, fakta yang terjadi agak jarang yang demikian. Wallahu a’lam.
slot bet 200
mposlot
slot thailand
situs toto
situs toto