Hari Santri Tak Sekedar Labeling

Oleh: M. Yazid Mar’i
Guru MI Salafiyah Soko Tuban

MEPNews.id – Kemarin, 22 Oktober 2020, tepat 5 tahun dikeluarkannya keputusan presiden nomor 22 tahun 2015 tentang Hari Santri. Artinya, jika dihitung tahun, ini hari Santri ke 5. Pertanyaan mendasar kemudian, apakah pengakuan konstitusional ini berbanding lurus dengan realitas? Inilah yang perlu mendapatkan jawaban.

Santri, kyai, ulama, dalam perspektif historis adalah kelompok yang telah berkontribusi besar dalam meraih kemerdekaan, meletakkan dasar negara Pancasila, mempertahankan kemerdekaan, hingga mengisi kemerdekaan. Lalu bagaimana realitas kebangsaan keberpihakan negara terhadap santri.

Masa orde Lama, meski perannya terhadap berdirinya negara tak diragukan lagi, namun satu-satu kelompok santri mulai dimarginalkan dari kehidupan kenegaraan atas dalih pembangkangan atas kebijakan pemerintah, seperti halnya yang dialami Natsir dkk dengan masuminya, lalu Kolonel Ahmad Husen dengan PRRI Permesta, juga terhadap HMI yang hampir juga dibubarkan oleh Soekarno.

Orde Barupun hampir tidak beda. Marginalisasi Kelompok santri terulang kembali dengan dalih ekstrim kanan, komando Jihad, dan lain. Hingga santri, kyai, ulama harus masuk ke jeruji besi.

Hari ini saat secara konstitusi kaum santri diakui keberadaannya, namun pada sisi lain persekusi terhadap kyai, ulama, yang dianggap berseberangan dengan kebijakan pemerintah pun terjadi. Lalu apa makna kepres tentang hari santri, jika perlakuan terhadap santri tidak beda dengan orde sebelumnya.

Padahal dalam perspektif santri “amat ma’ruf nahi munkar” Keduanya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam satu kalimat. “Amar ma’ruf” mengajak kebaikan, tentu tidak dapat dipisahkan dengan “nahi munkar” Mencegah kebatilan. Mengapa? Karena santri, kyai, ulama, adalah “warasyatul anbiya’ wal mursalin” Pewaris para Nabi dan Rasul yang harus dan tetap menda’wahkan dan mengembangkan tugas kerasulan di tengah-tengah umat yang dipimpinnya.

Surat al ambiya’ menjelaskan “wama arsalnaaka illa rahmatan lil alamin” Yang artinya “dan tidaklah aku (Muhammad) diutus melainkan untuk rahmat (kesejahteraan) bagi seluruh alam.” Dan kesejahteraan hanya bisa diraih dengan terwujudnya keadilan, dan keadilan diperoleh bila pemenuhan hak masyarakat/umat berbanding lurus dengan kewajiban yang telah dilaksanakannya.

Maka menegakkan keadilan, tentu bukanlah begitu saja terwujud, tetapi perlu diupayakan, dan terkadang tak jarang berbenturan dengan kebijakan penguasa. Sebagaimana dialami oleh Ibrahim, Musa, hingga Muhammad dengan kelompok kafir qurays yang berkuasa waktu itu.

Maka bagaimana labeling “hari santri” Inheren dengan realitas kehidupan para santri.

Secara self correction, kedepan tentu santri haruslah menjadi bagian penting bagi berjalannya kebijakan negara, hingga dapat memberikan kedamaian, perlakuan lebih, terhadap santri, melalui tumbuhnya karakter positif santri; jujur, disiplin, kerja keras, kerja tuntas, dan kerja ihlas.

Lahirnya kepres hari santri yang kemudian disusul disahkannya UU nomor 18 tahun 2019 tentang “pesantren”, tetap harus diupayakan, diihtiari, dan dikawal, agar implementasinya sesuai dengan kenyataan.

Pertanyaannya, siapa yang mengawal, bagaimana mengawalnya, inilah yang harus menjadi perhatian serius. Karena persatuan dikalangan santri, umat islam sesuatu keniscayaan adanya, agar umat islam, santri dapat hidup dalam negeri yang telah diupayakan kemerdekaanya. Atau dalam arti lain santri hari ini adalah mata rantai dari harapan, tujuan, dan cita-cita nenek moyangnya sebagai pendiri bangsa.

Bersatulah…. Jangan bercerai!

 

Facebook Comments

Comments are closed.