Kisah Bisnis Keberkahan (1)

 

Oleh: Yusron Aminulloh

MEPNews.id – Shodaqah Oksigen. Ayo Meniru satu Langkah dari Jutaan Langkah “Berkah Sumur” Utsman bin Affan.

Kita sering membaca kisah masyhur, wakaf sumur sahabat Nabi, yakni Utsman bin Affan. Kisah ini tampak sederhana. Tapi kita menirunya satu langkah saja betapa beratnya. Karena ada tiga kunci utama. Pertama, keikhlasan. Kedua, lillah karena Allah. Dan ketiga, punya ilmu strategi.

Dikutip dari Al Arabiya, Selasa (13/3/2018), sumur yang dikenal bernama Raumah itu, tak berhenti mengalir meski telah berusia 1.400 tahun.

Seorang peneliti dari pejabat pengembangan Madinah, Abdullah Kaber, mengatakan kepada Saudi Press Agency bahwa itu merupakan satu-satunya sumur zaman Nabi Muhammad yang masih mengalir hingga sekarang.

Di dekat sumur itu terdapat sebuah masjid dan ladang kurma nan luas. Sejumlah tanaman dan bunga pun bermekaran karena teraliri dari sungai tersebut.

Saat ini, otoritas sedang berencana untuk membangun kawasan tersebut.

Sumur Raumah wakaf Utsman bin Affan masih mengalir hingga sekarang meski telah berusia 1.400 tahun. (Saudi Press Agency)

Dilansir Madinatul Quran, diriwayatkan pada masa Nabi Muhammad, Kota Madinah pernah mengalami paceklik hingga kesulitan air bersih. Karena mereka (kaum Muhajirin) sudah terbiasa minum dari air Zam-zam di Mekkah.

Satu-satunya sumber air yang tersisa adalah sebuah sumur milik seorang Yahudi, yaitu Sumur Raumah. Rasa airnya mirip dengan sumur Zam-zam. Kaum muslimin dan penduduk Madinah terpaksa harus rela antre dan membeli air bersih dari Yahudi tersebut.

Prihatin atas kondisi umatnya, Rasulullah kemudian bersabda, “Wahai Sahabatku, siapa saja di antara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapat surga-Nya Allah Ta’ala,” demikian hadis riwayat HR. Muslim.

Mendengar hal itu, Utsman bin Affan yang kemudian segera bergerak untuk membebaskan sumur Raumah itu. Utsman segera mendatangi Yahudi pemilik sumur dan menawar untuk membeli sumur Raumah dengan harga yang tinggi.

Walau sudah diberi penawaran yang tertinggi sekali pun, Yahudi pemilik sumur tetap menolak menjualnya, “Seandainya sumur ini saya jual kepadamu wahai Utsman, maka aku tidak memiliki penghasilan yang bisa aku peroleh setiap hari,” demikian Yahudi tersebut menjelaskan alasan penolakannya.

Utsman tidak kehilangan akal untuk kembali menawar sumur tersebut. Ia pun memberi tawaran menarik akan membeli setengah dari sumur tersebut. Jika Yahudi itu setuju, ujarnya, maka sumur itu bisa dimiliki bergantian. Satu hari dimiliki Utsman, besoknya kembali lagi menjadi milik Yahudi. Begitu seterusnya.

Yahudi itu pun menerima tawaran Utsman. Ia merasa bisa mendapatkan uang banyak dari Utsman tanpa harus kehilangan sumur. Utsman pun meminta penduduk Madinah untuk mengambil air tersebut dengan gratis. Ia juga mengingatkan warga mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk dua hari karena esok hari sumur itu bukan lagi milik Utsman.

Keesokan hari Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli karena penduduk Madinah masih memiliki persedian air di rumah. Yahudi itu pun mendatangi Utsman. Ia meminta Utsman untuk membeli setengah lagi sumurnya tersebut dengan harga yang sama seperti saat Utsman membeli kemarin. Utsman setuju, lalu dibelinya seharga 20.000 dirham maka sumur Raumah menjadi milik Utsman secara penuh.

Utsman lalu mewakafkan sumur Raumah. Sejak itu, sumur tersebut dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk Yahudi pemilik lamanya. Setelah diwakafkan, tumbuhlah di sekitar sumur itu beberapa pohon kurma dan terus bertambah hingga saat ini berjumlah 1.550 pohon.

Jangan dikira, apa yang dilakukan Ustman tidak bisa kita lakukan sekarang. Mesti dalam langkah kecil dan konteks yang berbeda.

Hari ini kami tulis satu ide sahabat kami, Suparto Wijoyo, pakar lingkungan hidup, menawarkan satu solusi dengan konsep Shodaqah Oksigen. Tawaran ini ilmiah dan mudah dilakukan.

Ia menyebut, setiap orang hidup di dunia, membutuhkan oksigen yang cukup. Minimal 1 orang wajib “dihidupi” oksigennya oleh 2 pohon. Jadi kalau 1 rumah tangga ada 4 orang wajib menanam 8 pohon. Apabila kita tidak pernah menanam pohon sama sekali, artinya kita berhutang oksigen pada yang menanam.

Maka, Doktor Hukum Lingkungan ini mengajak masyarakat menanam. Kalau di rumahnya sendiri terbatas tanahnya, ia bisa punya tanaman di desa yang lahannya masih murah dan terjangkau.

Kalau kita bisa menanam melebihi jumlah kebutuhan keluarga kita, maka kita otomatis sudah shodaqah oksigen terus menerus sepanjang pohon kita hidup, seperti sahabat Ustman yang sumurnya manfaat hingga hari ini.

Lantas bagaimana kalau tidak bisa menanam? Jangan katakan tidak bisa dulu. Cobalah menanam di kampung halaman kita dengan modal menanam dan merawat dari kita.

Kalau pada akhirnya tidak bisa menanam karena kondisi ekonomi dan lingkungan, doakan para petani di kebun-kebun desa yang “mensubsidi” oksigen kita.

Tapi kalau mau mengikuti jejak sahabat Nabi, ayo kita lakukan langkah. Karya, jejak, yang usianya melebihi kita, manfaatnya sepanjang zaman. Maka, menanamlah pohon.

Allah tidak semata melihat langkah dan upaya kita besar atau kecil. Tapi melihat niat kita, keikhlasan kita. Tidak hanya memikirkan diri, tapi memikirkan orang banyak bahkan meninggali anak cucu penerus kita. *** (bersambung)

Foto : Pohon terus kami tanam tiap hari di DeDurian Park

Facebook Comments

Comments are closed.