Followership

Oleh: Adriono

MEPNews.id – Kemarin petang saya pergi ke dokter untuk konsul hasil lab kesehatan saya. Saat antre nomor, saya mencoba mengambil jarak secukupnya. Maunya saya mencoba mempraktikkan social distancing sebagaimana yang gencar diimbaukan di mana-mana.

Tapi apa yang terjadi?

Tahu-tahu, dari belakang datang pasien lain merangsek maju ke meja pendaftaran. Disusul beberapa orang lain ikut merubung petugas. Semua minta didaftar lebih dulu. Ah, yok opo seh wong-wong iki?

Tadi pagi isteriku belanja di Alfamart. Juga, ia mencoba menjaga jarak dengan meja kasir. Kasusnya sama, dirinya tahu-tahu disalip beberapa orang yang seperti tidak peduli dengan keadaan. Pokoknya, mereka minta dilayani duluan, tak peduli harus berdempet-dempetan.

Kenapa orang bisa begitu tidak peduli, kendati sosialisasi bahaya Corona tak henti-henti masuk handphone mereka?

Kenyataan ini menyadarkan saya, ternyata tidak gampang menjadi pengikut yang baik. Sungguh tidak mudah berperilaku rasional meski kondisinya sedang tidak normal. Boleh jadi selama ini kita memang tidak disiapkan menjadi pengikut yang baik.

Saat sekolah atau berorganisasi, kita pernah ikut LDK (latihan dasar kepemimpinan), ikut diklat leadership bersertifikat. Rupanya, semua hanya disiapkan menjadi pemimpin. Semua orang mimpi jadi pemimpin, tapi enggan belajar menjadi pengikut yang baik.

Mungkin karena itu lantas kita jadi lupa bahwa dalam kehidupan sosial, selain softskill ke-pemimpin-an ternyata juga dibutuhkan keterampilan ke-pengikut-an. Sehebat apapun leader, dia tidak akan efektif bila dikelilingi oleh follower yang buruk. Seperti halnya leadership, followership juga penting.

Followership adalah kesediaan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Berposisi sebagai pengikut, butuh kesadaran diri. Juga kedewasaan. Dia seyogyanya berempati bagaimana seandainya berada dalam posisi memimpin lalu instruksinya tidak diikuti anak buah. Dia harusnya bersedia berada dalam satu koordinasi, mau memercayai ilmuwan, menaati ulama, dan mengikuti imbauan pihak yang berwenang.

Tentu saja pengikut yang baik tidak identik dengan “yes man”. Dia tetap punya pendirian, kritis, dan berani bilang “tidak” saat diperlukan.

Naga-naganya pemberantasan wabah corona di negeri ini menjadi lebih berat gara-gara masih banyak orang yang bersikap semau gue seperti itu. (Semoga saya salah)

Memang tidak semua orang bisa melaksanakan imbauan social distancing karena tuntutan ekonomi. Kondektur bus, pengemudi ojol, PKL, dan sektor-sektor informal lainnya, memang harus muter-muter di area publik dan berinteraksi dengan banyak orang. Justru kepada mereka, saya berdoa semoga Gusti Allah paring perlindungan.

Tetapi, tidak semua orang dalam kondisi seperti itu, bukan? Lihatlah kita masih menjumpai segerombol orang nongkrong di taman, berkerumun ngobrol di warkop atau poskamling. Masih ada yang santai bermain game online, atau bahkan sepertinya sengaja pamer keberanian.

Saya jadi ingat nasihat Prof Moh. Nuh tentang peran minimalis yang selayaknya bisa dilakukan semua orang. Beliau bilang: “Nek gak iso ngrewangi, yo ojok ngrepoti.” (kalau tidak bisa membantu, ya jangan merepotkan).

Kalau kita tidak bisa menjadi tenaga medis yang berjibaku di garis depan melawan corona, kalau tak mampu jadi dermawan yang menyumbangkan jutaan masker dan obat-obatan, ya kita lakukan saja apa yang bisa dilakukan. Menjaga diri agar tetap sehat, tidak ngrepoti maupun merugikan orang lain. Itu saja sudah sangat-sangat membantu.

Dengan demikian, kejadian di Solo itu tidak perlu terulang lagi. Sudah tahu terindikasi kena COVID-19 dan wajib karantina mandiri, seorang wanita masih nekad pergi membantu kerabat yang punya hajat pernikahan. Jadinya ya bikin repot banyak orang. Sejumlah TNI-Polri-Satpol PP didatangkan, puluhan warga harus diperiksa, dan 17 rumah tetangganya diisolasi.

Duh. (*)

 

 

Facebook Comments

Comments are closed.