Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Karena bulan Desember ini ada yang menyebut sebagai bulan Gus Dur, ada baiknya beliau saya sapa dengan penuh ketulusan jiwa terlebih dahulu: “Gus, apa kabar?” Kalau ada yang tanya apakah saya bisa melihat Gus Dur yang sudah tiada selama satu dekade ini, saya jawab saja bahwa pokoknya saya sapa Gus Dur. Gitu aja kok repot. Andai Gus Dur tidak mendengar sapaan saya pun tidak masalah.
Kepada seorang penulis saya ini mudah kagum dan terkesima. Dan kita semua tahu Gus Dur merupakan penulis yang produktif dan handal. Bagi saya, kalau ada orang pandai tapi bukan penulis, hati saya masih biasa-biasa saja. Tapi jika ada orang pandai sekaligus penulis, hati kecil saya langsung takjub, silau dan ngefans tak berkesudahan.
Perkara ada penulis yang main-main dengan tulisannya sendiri, yang berpura-pura, dan seterusnya, itu perkara lain. Yang penting, jatuh cinta saya kepada siapa saja asal dia seorang penulis, tidak bisa ditawar, dirayu, apalagi dibelokkan supaya justru saya kagum kepada pembenci kerukunan, penindas, perusuh, pembunuh ketentraman rakyat kecil dengan fitnah-fitnah, adu domba, berita hoax, dan sebagainya.
Suatu hari saya membaca buku Gus Dur yang berjudul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Ada satu tulisan Gus Dur dalam buku tersebut yang membekas dan saya ingat sampai sekarang, yakni Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan. Kalau ingin detailnya bisa browsing di Mbah Google, tapi disini saya kutipkan dua paragraf dari tulisan Gus Dur tersebut yang menjadi favorit saya:
“Tetapi, sejauh apa pun hubungan batin kami berdua, saya sendiri tetap rindu kepada Gus Miek. Bukan kepada gebyarnya dunia hiburan. Tetapi bahwa kalau malam, menjelang pagi, ia tidur beralaskan kertas koran di rumah Pak Syafi’i Ampel di kota Surabaya, atau Pak Hamid di Kediri. Yang dimiliki Pak Hamid hanyalah sebuah kursi plastik jebol dan dua buah gelas serta sebuah teko logam. Itulah dunia Gus Miek yang sebenarnya, yang ditinggalkannya untuk beberapa bulan mungkin hanya sebagai sebuah kelengkapan lakonnya yang panjang. Agar ia tetap masih menjadi manusia, bukan malaikat.
Yang selalu saya kenang adalah kerinduannya kepada upaya perbaikan dalam diri manusia. Karena itu, ulama idolanya pun adalah yang membunyikan lonceng harapan dan genta kebaikan, bukan hardikan dan kemarahan kepada hal-hal yang buruk. Tiap 40 hari sekali ia mengaji di makam Kyai Ihsan Jampes, yang terletak di tepi Brantas di dukuh Mutih, pinggiran kota Kediri. Ia gandrung kepada Mbah Mesir yang dimakamkan di Trenggalek, pembawa tarekat Sadziliyah dua ratus tahun yang lalu ke Jawa Timur. Tarekat itu adalah tarekatnya orang kecil, dan membimbing rakyat awam yang penuh kehausan rasa kasih dan sapaan yang santun.”
Dua paragraf yang ditulis Gus Dur itu, entah kenapa hingga kini sangat membekas di hati saya. Mungkin karena hingga sekarang hidup saya masih morat-marit serta tak kunjung mapan secara ekonomi sehingga jika ada tulisan yang sangat menghormati kesederhanaan, maka selalu mudah tertancap dan terkenang dalam hati hingga kapanpun. Disatu sisi, banyak orang yang menyatakan Gus Miek ini adalah wali. Jadinya membekas di hati.
Ya Allah, Gus Miek selamat jalan. Gus Dur, terima kasih Gus. I love you. Selamat jalan. Al-Fatihah.
(Banyuwangi, 22 Desember 2019)