Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id – Minggu menjelang siang, 4 Agustus 2019, setelah ngobrol dan ngopi-ngopi sebentar di rumah Mas Agus Giant, kami bertujuh dari Rogojampi Banyuwangi on the way ke Ambulu Jember dengan mobil sewaan dan bensin urunan. Dua sahabat kami bisa nyopir, jadinya budget sopir digratiskan karena teman sendiri. Maka, meluncurlah kami sekitar jam 12 siang ke Hotel Ambulu, Jember.
Sampai lokasi sekitar jam 3 sore. Di sana kami bertemu sedulur-sedulur Jembaring Manah yang merupakan nama simpul Maiyah di Jember. Kami sama-sama menunggu Mbah Nun yang sedang briefing dengan KiaiKanjeng untuk acara Sinau Bareng yang digelar jam 8 malam di Alun-alun Ambulu. Usai briefing, kami semua disuruh masuk ruang lobi hotel.
Mbah Nun mengawalinya dengan menawarkan; apa yang kami inginkan dari pertemuan sore ini. Teman-teman Jembaring Manah meminta Mbah Nun mendoakan kami semua terlebih dahulu. Kemudian, sebagaimana lazimnya anak atau cucu kepada bapak atau mbahnya, mereka meminta arahan yang baik dari bapak ke anak atau mbah ke cucu-cucunya.
Mbah Nun menguraikan banyak hal dalam waktu yang tak sampai satu jam. Tak banyak yang saya ingat dari pertemuan sore tersebut, sehingga tulisan ini bukanlah reportase resmi, melainkan sekedar catatan ringan yang mengalir begitu saja. Atau lebih tepatnya sekedar ungkapan hati belaka.
Sahabat kami dari Rogojampi, Cak Saidun Furkon, merasakan haru biru dalam hatinya sambil seakan menitik air mata nuraninya tatkala bilang ke kami: “Kok mau-maunya Mbah Nun bersedia menemui kami yang bukan siapa-siapa ini, yang nakal, yang merepotkan…” Padahal waktu tersebut sangat tepat buat istirahat bagi Mbah Nun yang sudah kepala 6 dan nanti malam harus Sinau Bareng dengan masyarakat di Alun-alun.
Begitulah Mbah Nun. Hingga di usia tuanya kini, beliau masih setia menemani masyarakat luas tanpa mengenal lelah. Siapapun diterima, ditemani, di-anakcucu-kan, di-manusia-kan, sehingga kami merasakan kehangatan dari hati seorang Mbah Nun yang membuat kami selalu malu sendiri dan menitikkan air mata.
Demikianlah perasaan kami saat bertemu Mbah Nun. Kalau belum bertemu, kangen dan rewelnya luar biasa berharap bertemu. Begitu bertemu, kami selalu menangis dan merasa seakan tertampar bahwa betapa kami masih terus dan terus menerus saja merepotkan Panjenengan Mbah.
Maafkan kami.
(Banyuwangi, 5 Agustus 2019)