Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id–Harus diakui bahwa manusia sering sangat ditolong dan diuntungkan tanpa terasa oleh kebudayaan yang positif dalam kehidupannya. Sebut saja tradisi made in Indonesia yang bernama halal bi halal. Meskipun orang boleh dan mestinya harus bisa saling maaf memaafkan kapan saja tanpa menunggu kehadiran hari raya Idul Fitri, tapi tetap saja diakui atau tidak, tanpa tradisi maaf memaafkan yang dilakukan saat Lebaran, belum tentu seseorang dengan ringan saling maaf memaafkan.
Apalagi jika yang bersalah itu adalah orang yang berada kepada orang yang tak berpunya secara materi. Sangat jarang si berada ini merasa perlu untuk halal bi halal saling memaafkan. Apalagi sampai berfikir, merenung dan curhat mencari cara, menata omongan, dan lain sebagainya agar situasi hati dalam pergaulannya bisa kembali normal saling halal bi halal alias nol-nol kembali seperti sedia kala.
Maka beruntunglah disini kita mengenal tradisi saling memaafkan disaat hari raya Idul Fitri. Lha wong meskipun Tuhan mengancam sangat keras kepada siapa saja yang abai kepada yatim piatu, yakni dengan ancaman stempel sebagai pendusta agama, tapi tetap saja terkadang menolong dan bersedekah kepada yatim piatu saja kita semua menunggu dan tertolong oleh tradisi Yatiman di bulan Muharram. Sehingga hendaknya kita jangan sombong-sombong amat dengan mencibir: “Saling memaafkan kok menunggu momen setahun sekali…”
Mungkin diantara kita dalam Lebaran kali ini sedang atau akan atau baru saja selesai menghadiri acara halal bi halal. Baik dalam keluarga, rekan kerja, kelompok organisasi, lingkungan satu dusun, jamaah masjid atau musholla, dan lain sebagainya. Menyambung silaturahmi, menjaga obor persaudaraan, serta menjalin persatuan dan kerukunan.
Selain itu, memang momen halal bi halal ini bisa juga sebagai cara untuk saling bercermin satu sama lain. Syarat orang bisa bercermin adalah dengan adanya orang lain sebagai pembanding agar ia tak tergesa-gesa dan terlalu sangat cepat masuk menjadi katak dalam tempurung dengan menyangka hanya dia sendiri yang paling hebat dan bijaksana seakan-akan tak ada langit diatas langit.
Akan tetapi, lagi-lagi hal semacam ini bisa juga ditertawakan: “Bercermin saja menunggu momen halal bi halal. Bukankah setiap hari sudah semestinya kita bercermin dan melihat betapa diri kita adalah orang yang paling dungu…”
So, dengan segala kerendahan hati marilah kita bersyukur dan berterima kasih dengan adanya tradisi halal bi halal ini, karena tanpa momen kehadirannya sangat mungkin orang enggan untuk saling maaf memaafkan. Begitulah tanpa terasa kita sering diselamatkan oleh sebuah tradisi. Bukankah terkadang tanpa dibimbing oleh tradisi Yasinan setiap malam Jumat kita berkemungkinan tidak pernah membaca Al Quran satu surat sama sekali?
(Banyuwangi, 15 Juni 2019)