Oleh: Khusnatun Mawaddah
MEPNews.id – Setiap kali datang bulan Romadhon, hatiku senang sekali. Itu berarti aku dan anak-anakku bisa bepergian ke desa kelahiran ayah mereka nun jauh di sana. Di Desa Kendal, Punung, Pacitan. Desa yang indah di kaki bukit di atas Pantai Laut Selatan. Desa yang sejuk udaranya, menusuk sampai ke ulu hati. Selimut tebal selalu kami bawa untuk menemani tidur. Begitu juga jaket untuk pelindung tubuh saat perjalanan.
Ya, perjalanan mudik kami dikawal sepeda motor. Kedua anakku, yang kala itu masih berusia 3 tahun dan 2 tahun, selalu tenang saat melewati hutan belantara dengan sepeda motor milik perusahaan. Sesekali berhenti sekedar menghilangkan kebosanan dan kepanasan. Karena kondisi masih puasa, biasanya saya yang tidak kuat menahan panas. Apa lagi pundak dan leherku ikut keju menahan beban lilitan gendong kain. Namun, semua serasa indah saja. Kami masih beruntung bisa bertemu keluarga. Ayah dan Ibu menunggu kedatangan kami.
Start dari kota Bojonegoro, kami lewat Ngawi, Madiun, Ponorogo, hingga Pacitan yang ditempuh selama 7 – 8 jam. Pantat sampai panas menahan duduk sepanjang perjalanan. Suamiku merasakan pinggangnya yang tegang dan seperti tidak kuat lagi untuk mengemudi, sehingga sebentar juga berhenti untuk istirahat dan rileks. Ketika melihat banyak juga keluarga dengan anak-anak dengan kondisi sama, yakni mudik dengan naik motor bergelayutan aneka barang di samping kiri dan kanan, kami jadi semangat meneruskan perjalanan. Ya, beratnya silaturrohim menjadi momen indah setiap tahunnya.
Saat sampai di rumah Kendal, sambutan Ayah, Ibu dan tetangga kanan kiri kami nikmati. Sambutan mereka begitu antusias, khas pedesaan. Anakku tampak riang karena sudah bisa turun dari sepeda dan bisa jalan-jalan dan lari-lari keliling halaman. Sepertinya mereka sudah lupa dengan capek sepanjang jalan.
“Waduh, Cah Bagus. Tidak nangis to ini tadi?” tanya ibuku.
“Tidak, Mbah,” jawabku, karena anak-anak bisanya cuma geleng-geleng kepala.
Butiran air mata Ayah dan Ibu mertua menciumi kami semua seakan melepas kerinduan yang tertahan. Orang tua selalu merasa bahagia saat anaknya pulang dengan suka cita.
Jika mudik dengan bus, biasanya anak-anak rewel karena merasa pengap dan berdesakan. Maka, kami lebih memilih mudik pakai motor meski resiko badan capek semua. Sesampai di tujuan, biasanya suamiku minta dicarikan tukang pijat agar tidak terlalu parah capeknya. Sementara aku segera berkolaborasi membantu di dapur memasak menu kesukaan anak-anak dan orang dewasa serumah.
Meski setiap tahun tak banyak saudara yang datang mudik, namun cukup senang kami sekeluarga tetap konsisten menemui Ayah dan Ibu mertua. Minimal, kami mewakili saudara yang tidak bisa pulang kampung.
Terkadang orang tua tidak berani ngomong ke putra-putrinya bahwa mereka menahan rindu ingin melihat wajah anak-anaknya dari dekat, rindu bertemu cucunya yang kadang sejak lahir tidak pernah tahu wajahnya. Semua karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk bisa saling bertemu.
Begitu juga anak-anaknya. Hampir semua anak ingin bertemu ayah dan ibunya saat mereka sudah berjauhan karena berkeluarga. Namun, sekali lagi, tidak semua keinginan mampu diwujudkan tanpa adanya tekad yang kuat untuk bertemu. Dengan cara apa pun dan dengan segenap usaha.
Begitulah, kisah naik motor saat mudik setiap tahun kujalani. Sampai pada saatnya anak semakin banyak dan motor sudah tak lagi bisa menampung banyak tumpangan.
Romadhon ini masih menyisakan kerinduan naik motor lagi dengan menggendong si kecil berjejer dikelilingi aneka bawaan untuk keluarga tercinta.