Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id–Ngopi di parkiran timur pasar sekaligus ditemani lagu baru yang saking merdunya menurut saya, saya jadi langsung hafal reffreinnya: “Isun ngomong apik-apik, nawi sing biso maning, ngaboti riko…” Terjemah bebasnya: “Aku (mencoba) bicara baik-baik, (karena) khawatir tak bisa lagi mempertahankan kamu…”
Judul lagunya Ngomong Apik-Apik, vokalnya Syahiba Saufa. Sebuah lagu Banyuwangi ciptaan Wawan Dapoer yang lagi nge-hits. Saya kemana-mana seakan selalu ada saja yang memutar lagu baru ini. Di warkop, di pernikahan, termasuk juga di waktu senggang coffe break sebuah acara di hotel, lagu ini sering diputar.
Sebuah lagu yang mengungkapkan isi hati terhadap sebuah masalah dalam percintaan, tidak bisa serta merta kita tuduh ikut andil dalam memprovokasi, mendorong, atau memantapkan retaknya sebuah hubungan. Sebagaimana berita buruk sebuah kenyataan, tidak bisa serta merta pula kita anggap sampah perusak akal sehat yang mestinya jangan dipublikasikan. Sampah dan tidak sampah tergantung bagaimana cara kita mengolahnya.
Ah, tapi mana paham saya soal lagu atau berita sampah. Lha wong saya sendiri ini aslinya sampah. Bukan karena saya sok merendah dan sok belajar mengenali ke-sampah-an diri sendiri kemudian menuduh orang lain: “Maklum, tak mengenali dirinya sendiri, sehingga dia tak pernah menyangka bahwa di dalam dirinya ada sampahnya, bahkan mungkin banyak sampahnya, sehingga menjadi lucu pula kalau ia lantas serta merta membenci sampah dengan begitu sombongnya, dengan begitu angkuhnya…”
Bukan begitu. Sebagai manusia sampah, saya hanya memanjang-manjangkan kalimat agar bisa dinikmati sebagai kopi pagi yang hangat dan menyegarkan saja. Malahan saya ingin menulis puisi: “Hari ini tanggal 15 Maret. Kepada sang hari ini aku membulatkan tekad barang siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan mendapatkan buah dari kesungguhannya itu. Manjadda wa jada.”
Kemudian macet. Tak bisa saya meneruskan menulis puisi karena saya tertawa terpingkal-pingkal sendiri. Lihatlah, yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan buah dari kesungguhannya. Buah dari kesungguhan itu bisa misalnya begini: kalau kita gagal ingin jadi pegawai disebuah gedung mewah, buah atau ongkos dari kesungguhan kita itu bisa jadi “sekedar” keselamatan hidup dan sehal wal afiat yang tak terkirakan kemahalannya.
Nah, buah hasil “kalau hanya” semacam itu mana ada yang mau. Tapi saya mendadak dapat ide untuk menuliskan puisi tersebut menjadi dua paragraf saja: “Akan tetapi sebagai manusia sampah, mungkinkah kepada 15 Maret sang hari ini ia bisa bertekad untuk sungguh-sungguh?”
Sembari menikmati lagu Ngomong Apik-Apik itu, saya melawak sendiri dengan puisi saya itu: “Manusia sampah bisa saja sungguh-sungguh, asalkan kopinya ada yang mbayari. Ah, dasar sampah, hehehehe…”
Selamat memasuki hari ini 15 Maret. Dan salam bahagia. Bahasa gaulnya: jangan lupa bahagia ya!
(Banyuwangi, 15 Maret 2019)