Optimisme Realistis

MEPNews.id – Bulan Januari lalu, Yudi Latief memberi semacam tawshiyah berjudul ‘Mengawal Janji Republik’ dalam Executive Gathering Kementrian Keuangan RI. Hadir waktu itu Sri Mulyani Indrawati dan para pejabat teras Kemenkeu RI. Tawshiyah Kang Yudi dimulai dengan menyindir situasi perpolitikan nasional yang makin memanas bak ranting-ranting kering pohon yang mudah dibakar sewaktu-waktu.

Pesan pokok Kang Yudi diawali dengan pertanyaan: Apakah yang menyebabkan negeri ini bertahan tetap eksis sementara ada narasi besar bahwa negeri ini akan sirna tidak lama lagi? Pesan pertama Kang Yudi adalah; pertama, bangsa Indonesia adalah satu-satunya  yang berhasil membangun ‘negara-bangsa’ (nation state). Bahkan rakyat AS dan RRC sekalipun gagal dan tetap menjadi imperial state di mana masyarakat terbagi dalam the ruling classcitizens and subjects. Diskriminasi masih terjadi di negara adi daya tersebut: atas warna kulit, jenis kelamin, dan agama. Di AS misalnya, seorang presiden harus pria, berkulit putih dan kristen. Obama sudah mematahkan mitos ini, sedangkan Hillary Clinton gagal. Indonesia telah menyaksikan pemimpin pemerintahan kristen, bukan jawa, bahkan perempuan.

Kedua, sebagai negara bangsa, Republik ini membutuhkan ‘birokrasi’ yang secara diam-diam tekun bekerja keras, cerdas dan inovatif untuk memastikan bahwa negara mewujudkan janji Republik ini. Janji Republik ini adalah mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa yang telah dirumuskan dalam konstitusi. Kita pernah mampu membangun birokrasi yang kuat sehingga pada 1955 mampu menyelenggarakan Pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia modern, Konferensi Asia Afrika yang menjadi inspirasi bagi banyak pemimpin negara di Asia dan Afrika, termasuk Nelson Mandela dan Mao Zedong. Salah satu trobosan penting lainnya adalah ‘Deklarasi Djoeanda’ 1957 yang mengaku Indonesia sebagai negara kepulauan sehingga luas negeri ini tiba-tiba membesar hampir 300% tanpa sebutir pelurupun ditembakkan.

Ketiga, untuk membangun optimisme yang realistis, kita membutuhkan masyarakat yang memiliki kekuatan iman,  kepedulian atas kemanusiaan yang adil dan beradab agar tetap bisa bersatu dalam kebhinnekaan. Kemudian kita membutuhkan kepemimpinan yang dipandu oleh hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan. Bukan kepemimpinan berdasarkan ‘keterpilihan’, tapi berdasarkan ‘keterwakilan’ agar kelompok minoritas tetap bisa menyuarakan kepentingannya. Hanya dengan memperhatikan nilai-nilai ini, Republik bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketiga hal tersebut adalah penyusun ‘modal sosial’ bangsa Indonesia yang bakal menjadi tabungan bagi eksistensi negara bangsa ini. Kang Yudi juga sekaligus menekankan bahwa modal sosial ini memerlukan ‘rancangan kelembagaan’ yang tepat agar bisa terawat dengan baik, bahkan tumbuh berkembang.

Yang sedikit luput dari elaborasi Kang Yudi adalah bahwa ‘konstitusi’ sebagai rancangan kelembagaan paling pokok saat ini sudah mengalami perubahan mendasar sehingga masa ‘reformasi justru menghasilkan deformasi’ atas negara-bangsa ini sehingga negeri ini seolah mau menjadi AS sebagai imperial state. Bahkan rancangan kelembagaan keuangan yang kita anut saat ini sangat nekolimik sehingga terjadi kebocoran besar atas kekayaan kita.

Kita juga memerlukan rancangan ‘kelembagaan pendidikan’ yang baru yang dibebaskan dari monopoli persekolahan, dengan memperkuat negara dan masyarakat  sebagai satuan-satuan pendidikan yang sah untuk menumbuhkan jiwa-jiwa merdeka sebagai prasyarat budaya menjadi bangsa merdeka.  Kita juga memerlukan ‘kelembagaan politik’ yang dibebaskan dari monopoli partai politik dengan menguatkan masyarakat madani sebagai pemain politik yang sah.

Dalam membangun optimisme yang realistis itulah kita memerlukan ‘rancangan kelembagaan baru’ yang disusun kembali di atas ‘kerangka utama UUD45 versi dekrit Presiden RI 1959’, memeriksa kembali ‘kelembagaan keuangan’ dan ‘perdagangan’ global yang nekolimik ini serta sistem pendidikan nasional yang membangun jiwa merdeka bagi semua warganegera tanpa kecuali. Betul nasehat Amartya Sen bahwa “pembangunan adalah perluasan kemerdekaan”, bukan sekedar peningkatan kapasitas produksi dan konsumsi material belaka.

Gunung Anyar, 24/2/2019

Facebook Comments

Comments are closed.