MEPNews.id – Setiap orang suka bepergian, karena kegiatan itu identik dengan jalan-jalan atau melancong mengunjungi destinasi yang asyik-asyik. Demikian juga agaknya dengan penulis buku Adriono. Bagi alumnus IKIP Negeri Malang angkatan 1981 ini, pergi keluar kota sungguh menyenangkan, kendati itu dalam rangka kerja, bukan benar-benar piknik.
Dengan mengunjungi berbagai lokasi kita memang menjumpai banyak hal, mendapat pengalaman, menambah wawasan, serta mengincipi kuliner tradisional di berbagai daerah. Tapi dari semua alasan itu, dirinya senang pergi-pergi lantaran dari situ mendapat inspirasi untuk menulis.
Dengan memasuki lokasi baru, otomatis kita menyerap pengetahuan baru, bahkan kadang menemukan pemikiran baru. Sebagai contoh, dari kunjungan ke Toraja, penulis mendapatkan pemahaman baru tentang makna kematian di dalam kehidupan dan kehidupan dalam kematian. Dengan tubbing menelusuri goa Pindul Gunung Kidul saya tersadarkan bahwa sebuah kejelian dapat menciptakan sumber pendapatan baru bagi masyarakat setempat.
Tanah Minang mengajari sejumlah kearifan lokal, dan sekolah Insan Teladan di Bogor memberi bukti konkret bahwa ada sekolah fullday yang bisa eksis meskipun gratis tanpa iuran SPP. Walhasil setiap perjalanan selalu membuahkan pengetahuan baru, setidaknya memberikan kesenangan baru, meski juga menyisakan setumpuk cucian.
Isi buku ini cukup inspiratif, menggoda pikiran, mengusik imaji, atau setidaknya memberi hiburan di waktu senggang. Sebagian tulisan ada yang bermuatan serius dan agak filosofis, tetapi ada juga info ringan seputar kuliner hingga perbedaan adat-istiadat yang bikin ketawa.
Contoh kisah ringan bisa dibaca pada saat penulis berkunjung ke Manado. Di kota ini dia tidak hanya menikmati indahnya nyiur melambai dan pedasnya ikan bakar rica-rica, tapi juga perkembangan kota yang pesat.
Sekarang ruko-ruko mewah dan plaza terlihat terus bertambah. Tapi anehnya, sejak dulu sampai kini tak kunjung kutemui pusat perbelanjaan berlogo Sogo di seantero kota Manado. Mengapa, ya?
Seorang ibu PNS dengan sukarela memberitahu jawabannya.
“Jika Sogo buka di sini, pasti tidak laku, Pak,” katanya pede.
“Oh ya? Kenapa memang?” saya mengejar.
“Sogo itu dalam bahasa Manado artinya ….(maaf)… kumis bawah….hahaha,” katanya disusul ringkik kuda betina.
“Oh… gitu,” kataku melongo. Sejurus kemudian kulontarkan skak balik, ”kalau dalam bahasa Jawa Timur istilahnya bukan Sogo, Bu, tapi…. Jember Utara…hehehe….” (hal 63)
Andai saja banyak penyuka jalan-jalan yang mau menuliskan pengalaman membolang seperti ini, pasti akan banyak makna perjalanan yang dapat dipetik oleh orang lain. Hem. (*)