Oleh: Moh. Husen
MEPNews.id-Lagi-lagi belajar di internet memang bagai tak bisa dihindari. Meskipun disebut dunia maya yang justru agar kita semua lebih berhati-hati bahwa segala sesuatu yang di internet memang bisa hanya bersifat maya belaka, dari akun abal-abal, pembelokan opini, hasud sana-sini, hingga hoax. Tapi sebenarnya internet ini ya nyata juga, sehingga siapa saja yang memposting atau mengunggah apa saja hendaknya berhati-hati. Terlebih lagi bagi seorang publik figur yang dijadikan contoh banyak orang.
Ada yang gusar dan gelisah jika terutama generasi muda, taklid buta pasrah bongkok-an belajar di internet. Pokoknya apa saja yang tersaji di internet langsung dianggap benar. Ia sangat gampang digiring. Segala sesuatunya langsung ia telan, tanpa didialogkan atau didiskusikan dalam dunia nyata langsung face to face dengan mungkin teman sebayanya, orang tuanya, gurunya, orang alim, dosen atau siapa saja secara langsung.
Ada sesuatu yang lain, yang bisa tiba-tiba memungkinkan timbulnya percikan-percikan cahaya pemahaman yang lebih gamblang, jelas dan nyata atau tiba-tiba menemukan pemahaman yang lebih baru dan fresh ketika seseorang itu saling berdialog bertemu langsung. Bukan sekedar lewat chatting atau baca-baca.
Akan tetapi bukan berarti belajar melalui internet, diskusi chatting, bukannya tidak boleh dan dipastikan pasti berpotensi menyesatkan. Bisa jadi dunia maya memang sumber ilmu. Tapi jangan lupa bahwa dunia nyata merupakan keharusan yang harus dijalani oleh manusia sebagai salah satu sumber penting dalam pembelajaran dan pencarian ilmu pengetahuan.
Gampangannya belajar bersama: ya dengan dunia maya, ya dengan kitab dan buku, juga berdialog dengan sesama individu secara konkret. Tidak bisa belajar hanya dengan sebuah video atau robot yang mampu berbicara menjelaskan banyak hal, dari misalnya saja digitalisasi belajar Al-Quran lengkap dengan bunyi makhorijul huruf, tajwid, terjemahan, hingga penjelasan tafsirnya. Atau mungkin video rumus Matematika, hingga tutorial bikin makanan, termasuk yang agak rawan: meracik obat tradisional sendiri hanya melalui bekal melihat YouTube. Jika takarannya salah atau tidak tepat, bisa berakibat fatal membunuh dirinya sendiri.
Maka hendaknya kita juga harus berguru atau berdialog belajar langsung secara konkret bertemu via darat dengan seseorang untuk dijadikan partner atau teman diskusi dalam pencarian pembelajaran karena hal yang demikian merupakan sebuah keharusan sekaligus keniscayaan. Sekali lagi bukan berarti belajar di internet itu tidak boleh. Hanya saja menjaga keseimbangan dengan cara berdialog langsung atau belajar langsung dengan sesama teman atau guru yang kita anggap mengerti adalah juga sangat penting.
Kalau kita browsing iseng-iseng bertanya apa saja di Mbah Google, ternyata lha kok hampir-hampir selalu saja ada jawabannya. Sehingga rasa-rasanya kita menjadi sangat berhutang budi kepada para penulis yang kemudian ditancapkan tulisannya itu di majalah dinding dunia maya ini. Kita tinggal klik, misalnya: apa ya obatnya patah hati? Maka berbagai tulisan di Mbah Google segera bermunculan, dan kita segera mbatin: “Ya Allah, kok ya ada saja ya yang menuliskannya di internet…”
Tentunya bisa dibayangkan jika semua guru atau dosen mata pelajaran di sekolah dan kampus update menulis di internet. Kita menjadi mudah untuk selalu belajar ilmu IT, Matematika, Fisika, Kimia, Al-Quran Hadits, bahasa Arab, Nahwu Sharaf, bahasa Inggris, bahasa Cina, Penjaskes, Kesenian, Sejarah, Politik, Tata Negara, dan lain-lain. Juga setiap saat kita bisa mengikuti opini kekinian zaman dari para pakar ilmu yang mereka tuliskan dalam blog atau website mereka masing-masing.
Secara pribadi saya sangat mengharapkan semoga selalu ada dan senantiasa terus lahir para generasi penulis. Para penulis adalah guru kita semua. Dan kita berhutang jasa kepada mereka. Tulisan ini hanya sekedar semacam “provokasi” agar hendaknya kita semua meluangkan waktu sejenak untuk menaburkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan yang mungkin bisa dinikmati semua orang sebagai jariyah ilmu yang pahalanya akan terus mengalir hingga kita wafat kelak.
Ah, andai semua orang menulis. Saya sendiri aslinya juga mau menulis sebuah cerita sangat pendek. Pendek sekali. Saya beri judul Teror Handphone, yang saya hubungkan dengan waspadailah berita hoax dan adu domba masuk handphone kita masing-masing dalam tahun politik menjelang Pemilu 2019 ini. Tapi saya cancel dan tak jadi saya tulis, karena apa? Karena ternyata setelah saya telusuri diri saya sendiri, betapa saya ini termasuk tukang khayal kelas berat. (Banyuwangi, 25 Januari 2019)