Oleh: Syaifulloh
Penikmat Pendidikan
Rakyat Indonesia telah disuguhi komedi debat calon presiden dan Wakil presiden yang kurang bermutu. Harapan besar rakyat melihat calon presiden yang betul-betul menguasai persoalan dan memberikan pencerahan arah pembangunan Indonesia ke depan ternyata hanya mendapat tontonan yang kurang greget.
Tampilan debat seperti membaca puisi karena setiap pertanyaan jawaban menggantungkan pada contekan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Bis dilihat di berbagai media yang beredar luas, bagaimana contekan panjang telah disiapkan di podiumnya.
Menyampikan pendapat sambil membaca, menjawab pertanyaan juga sambil melihat contekan, tidak ada orisinilitas berfikir karena keterbatasan narasi. Contekan menjadi kebutuhan mendasar pada debat kali ini, sampai-sampai ketika perdebatan berlangsung, masih juga asyik membuka-buka contekannya.
Baca puisi juga dilakukan ketika closing statement sebagai tanda sesainya debat. Waktu yang tersedia sampai sisa banyak karena yang dibaca sudah habis dan tidak bisa berbunyi lagi.
Kemandulan kognitif inilah yang bisa dilihat dari acara debat pilpres 2019 ini. Konteks masalah contekan yang telah dibuat telah membubarkan proses berfikir alami sesuai dengan kondisi dan materi yang harusnya menjadi bahan debat untuk mencerahkan kesadaran berfikir rakyat Indonesia.
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir (Gagne dalam Jamaris, 2006). Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang/anak itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Idealnya pengalaman seseorang yang bermakna dan telah dilakukan bertahun-tahun atas prilaku yang dilakukannya bisa membantu seseorang untuk dapat menggunakan segala macam kemampuan kognisinya di dalam menyampaikan informasi secara runtut dan teratur dengan menggunakan logika yang dimilikinya tanpa tergantung dengan contekan yang harus dihafalkan.
Menurut Piaget: Adaptasi (sturuktur fungsional) adalah sebuah istilah yang digunakan piaget untuk menunjukan pentingnya pola individu dengan lingkungannya dengan proses perkembangan kognitif piaget yakin bahawa bayi manusia ketika dilahirkan telah dilengkapi dengan kebutuhan-kebutuhan dan juga kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Adaptasi ini muncul dengan sendirinya ketika bayi tersebut mengadakan interaksi dengan dunia disekitarnya. Mereka akan belajar menyesuaikan diri dan mengatasinya, sehingga kemampuan mentalnya akan berkembang dengan sendirinya. Menurut piaget, adaptasi ini terdiri dari dua proses yang saling melengkapi, yaitu: asimilasi dan akomodasi.
Masa remaja adalah suatu periode kehidupan dimana kapasitas untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan secara efisien mancapai puncaknya (Mussen, Conger dan Kagan, 1969). Hal ini adalah karena selama periode remaja ini, poses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan. Sistem saraf yang berfungsi memproses informasi berkembangnya dengan cepat. Disamping itu, pada masa remaja ini juga tidak terjadi reorganisasi lingkaran saraf Prontal lobe (belahan otak bagian depan sampai pada belahan atau celah sentral). Prontal lobe ini berfungsi dalam aktivitas kognitif tingkat tinggi, seperti kemampuan merumuskan perencanaan strategis atau kemampuan mengambil keputusan (carol dan david R, 1995).
Perkembangan prontal lobe tersebut sangat berpengaruh terhadap kemampuan kognitif remaja, sehingga mereka mengembangkan kemampuan penealaran yang memberinya suatu tingkat pertimbangan moral dan kesadaran sosial yang baru. Disamping itu, sebagai anak muda yang telah memiliki kemapuan memahami pemikirannya sendiri dan pemikiran orang lain, remaja mulai membanyangkan apa yang dipikirkan oleh orang tentang dirinya. Ketika kemampuan kognitif mereka mencapai kematangan, kebanyakkan alak remaja mulai memikirkan tentang apa yang diharapkan dan melakukan kritik terhadap masyarakat mereka, orang tua mereka, dan bahkan terhadap kekurangan diri mereka sendiri (Myers, 1996).
Kemudian, dengan kekuatan baru dalam penalaran yang dimilikinya, menjadikan remaja mampu membuat pertimbangan dan melakukan perdebatan sekitar topik-topik abstrak tentang manusia, kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan keadilan. Kalau pada masa awal anak-anak – ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik – tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang tuhan dan eksistensi (Myers, 1996).
Kemandulan kognitif bisa dideteksi dengan melihat sejauh mana penggunaan dan pengusaaan bahasa ketik menympikn pendapat baik langsung maupun tidak langsung. Ketika menyampaikan pendapat dibarengi dengan janji palsu MK kan mempersulit kemampuan ynhbsudah terbatas itu.
Kemandulan kognitif kan semakin sempurna bila par suporter semkain mensuport seluruh pendapat yang tidak masuk akal menjadi pembenran ynhbdisempurnkan demi membela sang junjungan. Berbagai macam profesi bil sudah menjadi supporter akan membela sesuai dengan profesinya.
Sungguh membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa yang akan datang bila kemandulan kognitif ini semakin berlanjut. Proses berfikir menurut Taxonomi Bloom pada tingkatan analisis merupakan kemampuan menguraikan suatu materi menjadi bagian-bagiannya. Kemampuan menganalisis dapat berupa: (a) analisis elemen (mengidentifikasi bagian-bagian materi); (b) analisis hubungan (mengidentifikasi hubungan); (c) analisis pengorganisasian prinsip (mengidentifikasi pengorganisasian/organisasi).
Sedangkan pada Level kelima pada Bloom adalah sintesis yang dimaknai sebagai kemampuan untuk memproduksi. Tingkatan kognitif kelima ini dapat berupa: (a) memproduksi komunikasi yang unik; (b) memproduksi rencana atau kegiatan yang utuh; dan (c) menghasilkan/memproduksi seperangkat hubungan abstrak. Pada
evel ke-6 dari taksonomi Bloom pada ranah kognitif adalah evaluasi. Kemampuan melakukan evaluasi diartikan sebagai kemampuan menilai ‘manfaat’ suatu benda/hal untuk tujuan tertentu berdasarkan kriteria yang jelas. Paling tidak ada dua bentuk tingkat (level) evaluasi menurut Bloom, yaitu: (a) penilaian atau evaluasi berdasarkan bukti internal; dan (2) evaluasi berdasarkan bukti eksternal. Contoh: Membandingkan janji dengan realisasi.
Proses berfikir dengan menggunakan Taksonomi Bloom ini dari mulai pengetahuan sampai pada evaluasi, memungkinkan setiap orang bisa melihat kemandulan kognitif yang terjadi sekarang ini secara masif dan terstruktur.
Wassalam