mepnews.id – Ketika ada satu gempa, tak lama terjadi sejumlah gempa di tempat lain di Indonesia. Gempa dengan magnitude 5,0 terjadi di Kabupaten Bandung pada 18 September 2024, berdampak pada rusaknya banyak rumah dan bangunan. Sehari setelah gempa pada 24 km tenggara Kabupaten Bandung dengan kedalaman 10 kilometer itu, gempa terjadi di Morotai dengan magnitude 5,6. Tiga hari kemudian, Kabupaten Gianyar, dilanda gempa dengan kekuatan 4,8 magnitude. Bahkan, pada 22 September, Kabupaten Sanggau kena gempa kekuatan 4,4 magnitude. Dua hari selanjutnya, gempa magnitude 6,4 mengguncang Gorontalo.
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan gempa di Kabupaten Bandung akibat patahan atau sesar Kertasari, bukan karena aktivitas Sesar Garsela seperti yang diprediksi sebelumnya. Sesar Kertasari ini merupakan sesar baru yang berjarak 6,61 km ke arah barat dan sejajar dengan arah umum sesar Garsela. Sama halnya gempa yang terjadi di segmen megathrust yang dapat menimbulkan dampak seismik serta tsunami, gempa sesar daratan dengan jarak lebih dekat ke permukaan juga dapat memberikan dampak kerusakan signifikan.
Pakar Geologi Universitas Gadjah Mada, Ir Gayatri Indah Marliyani ST MSc PhD IPM, mengungkap sesar aktif sulit dipetakan karena kondisi wilayah Indonesia memiliki curah hujan tinggi sehingga tingkat erosi dan pelapukan batuan juga tinggi. Hal ini menyebabkan bukti-bukti keberadaan sesar aktif di permukaan menjadi sulit ditemui.
Gempa dengan magnitudo besar maupun kecil bisa menjadi petunjuk keberadaan sesar aktif dan bisa dijadikan fokus penelitian dan pemetaan. Penelitian mengenai identifikasi sesar aktif harus terus dilakukan dan didukung semua pihak.
“Untuk sesar yang sudah teridentifikasi, potensi dampak yang timbul harus dipetakan dengan baik sehingga area terdampak bisa mempersiapkan diri. Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi sesar aktif juga harus meningkatkan kewaspadaan,” tuturnya, lewat situs resmi ugm.ac.id.
Menurut Gayatri, kejadian gempa sepanjang September di Indonesia berasal dari sistem sesar dan mekanisme berbeda. Dengan kata lain, gempa-gempa tersebut tidak saling terkait. Indonesia berada pada wilayah tektonik aktif dan berada pada pertemuan banyak lempeng bumi sehingga umum dijumpai kejadian gempa.
“Sumber gempa ada yang berada di zona subduksi di laut, dan ada dari sesar aktif di darat. Kejadian gempa di kedua zona ini tidak saling mempengaruhi,” jelas Gayatri.
Meskipun dihimpit banyak sesar aktif daratan dan zona megathrust, Gayatri menghimbau masyarakat untuk tidak panik. Ia menekankan pada pentingnya edukasi dalam beradaptasi dan memitigasi dampak dari bencana gempa.
Langkah awal yang bisa dilakukan adalah waspada di mana saja berada dengan mengetahui ancaman gempa yang mungkin terjadi. Kemudian, lakukan perencanaan di berbagai level hingga ke lingkungan keluarga.
“Kalau terjadi gempa, kita bisa paham apa yang harus kita lakukan. Minimal kita sudah siap tas siaga bencana,” ujarnya.
Pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kesiagaan dalam menghadapi bencana gempa juga perlu ditingkatkan. Jika masyarakat bergerak sendiri, hasilnya tidak akan optimal.
Sebagai langkah konkret, Gayatri menggarisbawahi pentingnya edukasi kebencanaan yang konsisten dan terus-menerus dilakukan pemerintah bersama para pemangku kepentingan lainnya.
“Edukasi ini untuk menjaga kesiapsiagaan masyarakat tanpa menimbulkan ketakutan berlebihan,” kata ia. (Triya Andriyani)
POST A COMMENT.