Oleh: Yazid Mar’i
mepnews.id – Slah satu yang menarik dari Pilkada Bojonegoro adalah tagline yang diangkat kedua kontestan bupati dan wakil bupati. Pasangan Wahono-Nurul (Wannur) mengusung tagline “Dekengan Pusat.” Pasangan Teguh-Farida mengusung tagline “Dekengan Rakyat”.
Tentu tagline semacam ini dipakai bukan serta merta untuk sekadar ingin viral. Ini juga bisa menjadi gambaran singkat pola prilaku serta historisme kemunculan kedua pasangan dalam kontestasi pilkada 27 November 2024.
Dalam perspektif demokrasi, pilkada tetap dan masih diakui sebagai instrumen untuk memilih para pemimpin di tingkat propinsi, kabupaten/kota. Makna lainnya, rakyat berkesempatan memilih calon yang dikehendaki. Artinya, esensi demokrasi adalah kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai (meski hakekat pendirian partai adalah representasi dari rakyat), dan bukan pula kedaulatan satu atau dua orang di partai.
Jika kedaulatan rakyat dimaknai sebagai kedaulatan menyeluruh rakyat untuk menentukan nasibnya sebagaimana yang dicita-citakan, termasuk memilih pemimpin di berbagai tingkatan yang padanya akan diberikan mandat untuk mengelola kehidupan bernegara sebagaimana telah dicita-citakan para pendiri bangsa yakni “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”, maka tidak bisa tidak ia adalah bagian dari negara yang berdaulat penuh.
Pasangan Wannur mengusung tagline “Dekengan Pusat”. Istilah ini mulai muncul dari da’i muda pesohor Gus Idham, sebagai gambaran seseorang/sekelompok orang yang mampu berbuat apa saja tanpa tersentuh hukum dalam konteks kehidupan sosial, politik, ekonomi di Indonesia. Ibaratnya, “Opo-opo iso, iso opo-opo”. Tagline “Dekengan Pusat” untuk pasangan Wannur ini tentu sangat layak dan pantas karena mereka diusung 14 partai politik ‘rekom Pusat’ dalam aksi ‘Borong Mie’.
Sementara, pasangan Teguh-Farida (Teguh ing Ati) mengusung tagline “Dekengan Rakyat” yang berangkat dari reaksi rakyat yang dimotori mahasiswa melalui demonstrasi mengawal putusan MK perihal penurunan prosentase partai yang dapat mengusung calonnya di pilkada, sebagai kemenangan demokrasi. Pengertian lain, pasangan Teguh Ing Ati ini hanya diusung dua partai sisa setelah terjadinya aksi borong partai yang dibeli secara grosir.
Kini rakyat Bojonegoro tinggal menanti akankah “dekengan rakyat” rakyat mendapatkan kemenangan atau “dekengan pusat” penguasa yang menang? Tentu tergantung bagaimana sikap rakyat Bojonegoro dalam pilihan nanti.
‘Kemenangan rakyat’ atau ‘kemenangan penguasa’ adalah sekaligus salah satu indikator untuk menyebut rakyat Bojonegoro sudah cerdas atau sedang bablas.
- Penulis adalah sekretaris KSK
POST A COMMENT.