Sape Sonok Sebagai Antitesis Karapan

Oleh: Fathurrozi Nuril Furqon

mepnews.id – Sape Sonok adalah salah satu bentuk seni tradisional masyarakat Madura yang menekankan aspek keindahan, keselarasan, dan keterampilan sapi betina. Sape Sonok adalah dua ekor sapi betina yang dipasangkan dengan pangonong (penghubung dari kayu yang diletakkan di atas kepala masing-masing sapi) serta dihiasi. Bergandengan, kedua sapi kemudian berjalan melewati pintu atau gapura pada garis finish.

Sebagai tradisi yang mengutamakan estetika, perawatan Sape Sonok cukup istimewa. Sape Sonok mencerminkan kesuksesan seseorang dalam memelihara sapi. Keberadaan Sape Sonok juga dapat meningkatkan status sosial pemiliknya. Pemeliharaan Sape Sonok berfungsi sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki mutu genetik sapi Madura, karena pada dasarnya Sape Sonok adalah sapi-sapi pilihan meskipun standar penilaiannya beragam.

Asal usul kontes Sape Sonok memiliki versi yang berbeda. Salah satu cerita, H. Achmad Hairudin kepala desa di Dempo Barat, Kecamatan Pasean, pada 1964 memperkenalkan seni Sape Sonok. Pada mulanya, sapi tidak hanya untuk kegiatan pertanian tetapi juga sebagai hiburan. Praktik ini kemudian berkembang dengan adanya pertandingan kekuatan antara pasangan sapi. Kemudian, ini menjadi acara resmi. Orang-orang mendirikan perkumpulan peternakan Sape Sonok.

Versi lain, kontes Sapi Sonok dimulai dari Mansoer pegawai pemerintah Dinas Peternakan di Kabupaten Pamekasan. Selama bertugas, ia menyadari masalah utama di wilayahnya adalah minimnya perhatian peternak terhadap sapi betina. Pagi-pagi setelah memandikan sapi, para peternak ke warung kopi sambil menjemur sapi yang baru saja dimandikan. Mansoer menggunakan kesempatan ini untuk memberikan penyuluhan, sambil mengusulkan pembentukan organisasi untuk meningkatkan perawatan sapi. Upayanya mengubah kebiasaan kurang memperhatikan sapi betina menjadi perhatian lebih serius terhadap pemilihan dan pemeliharaan sapi di komunitas.

Terlepas dari dua versi di atas, tradisi Sape Sonok bisa dikatakan bermula dari kegemaran masyarakat petani di Pulau Garam yang menggunakan sapi setelah bekerja di sawah. Mereka rutin membersihkan sapi di sungai sebelum memasukkannya ke kandang. Setelah dimandikan, sapi-sapi dipajang dan diikat ke tiang bambu agar terlihat gagah dan tidak melarikan diri. Kegigihan dan kebersihan sapi-sapi ini menjadi inspirasi untuk kemudian dikembangkan menjadi konsep lomba Sape Sonok.

Awalnya, kontes ini dikenal sebagai Sapi Taccek. Sapinya dipajang tanpa aksesoris lengkap. Tapi, sapi-sapi diatur berbaris seperti dalam upacara militer, untuk menunjukkan keanggunan dan kebersihan tubuh serta bulu mereka. Seiring waktu, kontes ditambahi dengan kasesor sapi hingga muncul istulah. Kemudian, komunitas pecinta sapi membentuk paguyuban Sape Sonok Madura sebagai wadah untuk berbagi kecintaan pada hewan tersebut.

Acara Sape Sonok memiliki urutan penting. Pertama, acara dimulai dengan pembukaan yang dilanjutkan doa bersama. Kemudian, ketua panitia memberikan sambutan untuk peserta dan penonton. Acara dilanjutkan tarian karapan, diikuti atraksi musik saronen yang mengiringi setiap pasangan sapi yang berlomba.

Penilaian lomba berdasarkan serangkaian ketentuan yang disepakati sebelumnya oleh dewan juri. Setiap pasangan Sape Sonok harus menyelesaikan perjalanan dalam waktu dua menit, tidak kurang dan tidak lebih. Pelanggaran terhadap waktu bisa mengakibatkan pengurangan nilai. Jika sapi menyentuh garis lintasan atau berbalik arah, akan ada sanksi pengurangan nilai sampai diskualifikasi. Penilaian tertinggi diberikan kepada pasangan sapi yang dapat berjalan lurus dengan gerakan kaki serasi.

Acara mencapai puncaknya ketika setiap pasangan sapi naik panggung papan. Sapi harus menempatkan dua kaki depannya di atas papan dengan tepat, sambil menunjukkan ketenangan dan keserasian saat menunggu penilaian dewan juri. Ketepatan dan ketenangan saat menempatkan kaki di papan panggung sangat memengaruhi penilaian. Setelah penilaian dan penentuan pemenang, semua peserta Sape Sonok mendapatkan penghargaan dari panitia. Ini beda dengan Karapan Sapi yang hanya memberikan penghargaan pada satu pemenang.

Dalam Sape Sonok, sepasang sapi dihias dengan berbagai aksesoris yang memperlihatkan elemen estetik visual. Aksesoris tidak hanya mencerminkan keindahan visual, tetapi juga berfungsi sesuai kebutuhan dan makna simbolisnya. Sapi dihias layaknya ratu kecantikan dengan detail sangat teliti; tanduk dihiasi beragam warna, bulu dirawat dan disesuaikan dengan berbagai model, leher dihiasi perhiasan, seluruh bagian tubuh diberi hiasan indah, kaki dilengkapi sepatu khusus dari bahan istimewa. Total, 24 pasang sapi betina dari berbagai usia disiapkan secara eksklusif oleh para tongkok (joki) untuk berjalan di atas catwalk sepanjang 25 meter.

Sape Sonok selalu ditemani musik saronen. Musik ini ditandai sembilan instrumen yang masing-masing memiliki makna filosofis Islam. Ini sejalan dengan makna kalimat pembuka Al-Qur’an, “Bismillahirrahmanirrahim” yang terdiri dari sembilan suku kata. Instrumen-instrumen tersebut meliputi saronen, gong besar, kempul, kenong besar, kenong tengahan, kenong kecil, korca, gendang besar, dan gendang dik-gudik.

Berkembangnya Sape Sonok tidak terlepas dari esensi tradisi yang menyajikan hiburan dengah menghindari penganiayaan terhadap hewan, menjaga eksistensi dari kepunahan, menjadi inspirasi penghargaan terhadap hewan, dan melahirkan kekayaan tradisi budaya. Hal ini berbeda dengan Karapan Sapi yang kerap menuai kritikan dari tokoh Madura dan masyarakat luar.

Sejatinya, Karapan Sapi merupakan acara tradisional yang sangat populer di Madura. Dalam karapan, dua pasan sapi menarik masing-masing kereta kayu dengan joki di atasnya lalu berpacu secepat mungkin menuju garis finish. Ini adu cepat antara pasangan sapi yang telah dipersiapkan dengan baik. Pacuan berlangsung dalam jarak sekitar 100 meter, dan waktunya antara 30 detik hingga satu menit.

Sebelum pelaksanaan, pemilik sapi tidak hanya melakukan persiapan rasional tetapi juga aspek spiritual. Mereka melakukan doa kepada Tuhan dan mengunjungi dukun untuk meminta jampi-jampi demi mendapatkan kemenangan bagi sapi mereka. Mereka juga melakukan tindakan fisik untuk membuat sapi marah sehingga terpacu berlari dengan cepat. Tindakan ini termasuk menyiksa sapi yang akan bertanding, antara lain dengan mengoleskan lombok ke seluruh tubuh, mengoleskan rheumason di mata, melukai pantat sapi dengan paku, dan melumuri luka dengan cabe dan rheumason. Joki, aaat bertanding, juga melakukan penyiksaan dengan duduk di kalêlês dan mencambuk sapi menggunakan rekeng (sejenis tongkat dengan ujung yang terdapat paku-paku tajam) hingga pantat sapi berdarah. Semua ini dilakukan agar sapi berlari secepat mungkin untuk memenangkan pertandingan.

Fenomena kurang mengenakkan antara lain tampak dalam Karapan Sapi di Bluto Sumenep pada 14 Agustus 2024. Selepas lomba, tampak pantat sapi terkelupas kulitnya. Merah daging terhalang lumuran darah. Namun, sorak sorai masyarakat mengaburkan luka sapi.

Ahmad Huzaini, pengelola youtube ‘Drumband Nusantara’ yang juga penyuka kesenian Madura, mengisahkan lomba karapan Piala Presiden sekitar tahun 2009-2010 diadakan tanpa kekerasan. Namun, hal itu justru menimbulkan pro kontra dari para pegiat Karapan Sapi hingga sempat terjadi dualisme antar paguyuban pengerap. Alhasil, pada edisi-edisi setelahnya, kekerasan kembali ditemukan dalam Karapan Sapi.

Sebagai reaksi atas tindakan ini, banyak pihak mengecam. Ada yang menyatakan penganiayaan hewan dalam tradisi ini termasuk pelanggaran Pasal 302 Ayat 1 KUHP. Beberapa pihak lain menyampaikan tradisi ini tidak dibenarkan dalam syariat Islam.

Penganiayaan terhadap hewan juga mencederai filosofi awal terbentuknya tradisi ini oleh Kiai Baidawi. Alkisah, Kiai Baidawi datang ke Madura sebagai dai atas titah Sunan Kudus. Selain mengajarkan Islam, Kiai Baidawi turut mengajarkan cara bercocok tanam. Beliau mencetuskan ide menggunakan sapi untuk membantu proses pertanian. Teknik ini dikenal sebagai asaka’ atau asalageh, di mana sepasang sapi dilengkapi pangonong dan nangggeleh atau salageh digunakan untuk membajak lahan. Tradisi Karapan Sapi bermula dari sini.

Seiring waktu, Karapan Sapi berkembang menjadi lebih dari sekadar kegiatan pertanian. Setiap pasca panen, Kiai Baidawi mengadakan pesta dengan lomba lari sapi yang diiringi musik tradisional sebagai ungkapan syukur atas hasil tani melimpah. Tradisi Karapan Sapi saat itu dilaksanakan murni hanya sebagai ungkapan syukur, tanpa ada perlombaan yang diselingi kekerasan pada hewan.

Daripada itu, tradisi Sape Sonok muncul jauh setelah Karapan Sapi dan dilaksanakan dengan cara sangat berbeda. Sape Sonok mengedepankan aspek keindahan, keselarasan, dan keterampilan sapi betina. Kesenian ini bertujuan melestarikan tradisi lokal serta menghasilkan bibit sapi Madura yang unggul dari segi penampilan fisik maupun kemampuan mengikuti arahan pelatih dalam memamerkan keindahan. Sape Sonok dirawat dengan metode khusus untuk keperluan pajhȃngan.

Dengan bentuk begitu berbeda, Sape Sonok menjadi angin segar bagi mereka yang ingin melihat pertunjukan sapi tanpa diwarnai kekerasan. Hal ini sekaligus menjadikan Sape Sonok sebagai antitesis dari Karapan Sapi. Jika Karapan Sapi kerap dijadikan simbol prestise yang bisa menaikkan martabat masyarakat, Sape Sonok seakan mencoba membantah anggapan itu. Ada cara lain untuk mengangkat martabat diri tanpa melukai hewan, yaitu dengan Sape Sonok.

 

  • Penulis adalah Mahasiswa UNIA yang saat ini menjadi Guru Bahasa & Sastra Indonesia di TMI Al-Amien Prenduan, Madura.
  • Tulisan ini salah satu finalis kompetisi esai Inkubator Literasi Pustaka Nasional (ILPN) 2024 dengan tema ‘Ragam Pesona Jawa Timur’.

Facebook Comments

Comments are closed.