mepnews.id – Beberapa saat lalu, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selebriti kembali memikat perhatian masyarakat. Antara lain, selebgram Cut Intan Nabila yang membagikan video di akun Instagram saat ia menjadi korban KDRT suaminya Armor Toreador Gustifante. Kasus KDRT juga terjadi di masyarakat umum dengan korban berani melapor ke pihak berwajib atau yang tidak melapor.
KDRT bisa berdampak pada banyak hal yang bisa merepotkan korban. Bisa mengalami trauma dan stres jangka panjang, selalu merasa cemas, takut, atau tidak aman, bahkan ketika berada di lingkungan yang seharusnya aman. Korban bisa saja mengalami luka fisik yang dapat menyebabkan masalah kesehatan kronis. Dari sisi sosial, korban mungkin saja mengisolasi diri dari teman dan keluarga karena merasa malu. Dan, masih banyak kemungkinan dampak buruk lainnya.
Lantas, bagaimana pemulihan mental korban KDRT?
Uswatun Hasanah SKep Ns MKep NsSpepJ, dosen Keperawatan Jiwa Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), menjelaskan dampak fisik KDRT dapat diobati dengan pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Namun, dampak psikis (trauma) bisa jadi menjadi menetap. Kapan saja bisa kambuh jika korban berada dalam situasi serupa. Ini memicu munculnya ingatan dan pengalaman tidak menyenangkan saat mengalami KDRT.
Trauma merupakan kondisi yang sulit untuk disembuhkan. Butuh waktu lama, bahkan bertahun-tahun, agar korban kekerasan dapat betul-betul terlepas dari rasa traumanya.
“Oleh sebab itu, perlu dilakukan penanganan maupun pendampingan psikologis bagi korban KDRT agar tidak mengalami stress pasca trauma,” tutur Uswatun, lewat situs resmi um-surabaya.ac.id.
Ia lalu membagikan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendampingi proses pemulihan kondisi psikis korban yang baru mengalami KDRT:
Pertama, amankan diri. Hidari dampak kekerasan yang semakin luas dengan cara mengamankan diri ke tempat aman. Bisa dengan cara menjauhkan diri dari pelaku sehingga perilaku KDRT tidak berlanjut.
Kedua, cari dukungan. Dukungan penuh dari orang terdekat adalah salah satu faktor yang dapat menguatkan diri korban terutama secara psikis.
Ketiga bercerita. Menceritakan peristiwa yang dialami merupakan salah satu bentuk terapi. Tentu, saat memutuskan untuk bercerita, pilih dulu orang yang tepat yang bisa dipercaya untuk diajak curhat. Misalnya, pada orang tua, pada sahabat, pada kelompok pendukung, maupun pada terapis.
Keempat, menulis. Menulis merupakan salah satu bentuk pemulihan yang dapat dilakukan jika belum siap menceritakan pengalaman atau kondisi traumatis yang dialami. Dengan menulis, tekanan emosi dapat diluapkan sehingga stress berkurang.
Kelima, cari atau bergabung dalam kelompok pendukung. Bergabung dalam kelompok pendukung dapat membantu memulihkan trauma. Dalam kelompok, seseorang akan menyadari bahwa ia tidak sendiri. Ada orang lain yang mengalami hal yang sama. Masing-masing orang saling memberikan dukungan.
Keenam, latih diri atau belajar tentang seluk-beluk KDRT dan cara mengatasinya. Pengetahuan yang cukup terkait kekerasan dan penanganannya sangat diperlukan. Hal tersebut sangat membantu jika suatu saat kita berada dalam situasi yang sama. Kita bisa tahu apa yang harus dilakukan, siapa yang harus dihubungi, atau bahkan cara memberikan kode/tanda bahwa saat ini kita sedang mengalami kekerasan dan butuh pertolongan.
Ketujuh, datang ke profesional kesehatan mental secara berkala untuk mendapatkan terapi tambahan sehingga membantu mempercepat proses pemulihan.
Kedelapan, latihan mengontrol trauma secara bertahap. Saat ada pemicu trauma, upayakan untuk mampu mengontrol gejala trauma yang muncul secara mandiri. Bisa dengan teknik relaksasi, distraksi, meditasi, atau bahkan melakukan aktivitas yang digemari. Hal tersebut dapat mengalihkan fokus terhadap ingatan berkaitan dengan peristiwa traumatis.
Kesembilan, kembali membangun koneksi. Rasa trauma akan membuat seseorang menjadi tidak percaya pada orang-orang dan lingkungan sekitar sehingga seseorang menarik diri dari lingkungan sosial. Agar rasa trauma dan peristiwa traumatis dapat ditangani atau dikontrol, mulailah menjalin hubungan kembali dengan lingkungan sosial yang membuat nyaman. Koneksi yang dibangun kembali memungkinkan kita mendapatkan dukungan dan dapat mengalihkan ingatan dari peristiwa traumatis.