Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – “Hei, nek mangan kudu dientekno. Engko pitike mati lho,” kata seorang ibu sambil menyuapi anaknya makan.
Kalau lihat logatnya, tentu ibu itu orang Surabaya. Kalau petani di Jawa, mungkin yang dikatakan, “Yen maem kudu entek. Yen ora, mundhak pitik ing kandhang mati.” Kalau pakai bahasa Indoneisa, “Makan sampai habis. Kalau gak, nanti ayamnya mati.”
Dalam hati, saya tertawa. Apa hubungannya antara makanan sisa dengan ayam mati?
Tapi, bukan hubungan itu yang saya akan jelaskan di artikel ini. Saya ingin menekankan pada aspek pemborosan karena buang-buang makanan.
………..
Pembaca yang budiman, membuang-buang makanan itu mubazir. Tidak baik untuk dompet, juga tidak baik untuk lingkungan.
Meski demikian, banyak orang atau rumah tangga yang membuang-buang makanan dalam jumlah banyak. Salah satunya, saat ada resepsi pernikahan atau sunatan di kampung-kampung.
Sampai-sampai, Indonesia menempati peringkat keempat di dunia soal food waste atau mubazir makanan pada 2020. Makanan bagus yang terbuang sia-sia dari sektor rumah tangga saja mencapai 20,94 juta metrik ton pada 2020. Total mubazir makanan Indonesia berada di bawah Cina dengan 91,65 juta metrik ton, India dengan 68,76 juta metrik ton, dan Nigeria dengan 37,94 juta metrik ton. Coba, berapa banyak yang terangkat dari posisi kelaparan jika makanan-makanan itu disalurkan ke orang-orang yang tepat.
Dari sudut pandang lingkungan, setiap kali ada makanan dibuang berarti terbuang pula sumber daya yang terlibat dalam produksi termasuk energi yang digunakan untuk memanen dan mengangkut serta mengemasannya.
Terus, bagaimana cara mengurangi kemubaziran pangan?
Banyak penelitian tentang pengurangan pemborosan makanan di rumah tangga difokuskan pada edukasi masyarakat berupa cara pilihan pangan disajikan untuk mengubah perilaku. Namun, efisiensi dan metodenya masih diperdebatkan.
Cathrine Jansson-Boyd, pakar psikologi konsumen di Anglia Ruskin University, Cambridge, Inggris, bersama beberapa kolega, sebagai contoh, menulis makalah tentang bagaimana upaya sadar dalam waktu singkat dapat mendorong perubahan yang bertahan lama terkait jumlah makanan yang dibuang dari rumah.
Tulisan ini berdasarkan data dari responden sedikitnya 150 rumah tangga di Inggris yang diminta menghitung sampah buah dan sayur mereka.
Awalnya, tim peneliti mengukur sampah selama 6 minggu. Responden dibagi ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama, responden diminta mencatat buah dan sayuran segar yang mereka beli dan kapan harus digunakan (berdasarkan tanggal kedaluwarsa kemasan). Catatan ditempel di kulkas sebagai pengingat tentang apa yang perlu dikonsumsi setiap hari untuk menghindari pemborosan. Selain itu, responden menerima pesan teks harian untuk memeriksa catatan makanan mereka dan menambahkan data buah dan sayuran yang baru dibeli.
Kelompok kedua, sebagai kontrol, hanya diminta mencatat pemborosan makanan mereka tetapi tidak diingatkan untuk menggunakan produk segar mereka.
Awalnya, para peneliti menduga responden yang menerima WA pengingat akan mengurangi pemborosan mereka dengan lebih efektif. Memang ada perbedaan antara kedua kelompok tersebut, namun hanya sedikit.
Untuk edukasi, mengukur mubazir produk segar membuat semua responden lebih cenderung memikirkan apa yang mereka buang. Hal itu membuat reponden merasa seolah-olah dapat mengendalikan jumlah makanan yang mereka buang.
Maka, orang untuk mengukur pemborosan buah dan sayuran mereka, setiap minggu, selama enam minggu, bisa memicu proses berpikir yang memandu perilaku di masa mendatang. Mungkin pengurangan sampah makanan mereka rata-rata cuma 108 gram seminggu. Tapi, jika dipertahankan enam 6 bulan, penghematannya tentu signifikan.
Cathrine Jansson-Boyd mengaku, diperlukan upaya sadar hanya dalam waktu singkat untuk bisa mendorong perubahan perilaku yang lebih tahan lama.
Saya tambahkan, agama sudah menganjurkan kita untuk tidak boros, tidak mubazir, dalam urusan makanan. Jangan sia-siakan makanan karena jauh di sana masih banyak orang yang lapar. “Makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan,” begitu tertulis di surah Al-A’raf: 31.
Saat mau makan, ukurlah. Ambil secukupnya lalu makan sampai habis. Jika masih kurang, silakan ambil lagi. Tapi jangan sampai ada yang terbuang, kecuali yang memang tidak bisa dimakan.
Saat mau memasak, hitunglah kira-kira konsumsi diri sendiri atau keluarga. Masaklah sedapat mungkin dalam jumlah yang pas kebutuhan sehingga meminimalisir sisa. Jika ada sisa, dan masih memungkinkan, silakan diawetkan.
Saat mau belanja makanan, cermati yang tahan lama dan yangn cepat membusuk. Untuk yang tahan lama, silakan beli banyak untuk stok. Untuk yang cepat membusuk, beli seikit saja untuk konsumsi hari ini (atau dua-tiga hari ke depan jika bisa diawetkan di kulkas).