GolAGong, Ria Ricis dan Dahnil Anzar Meriahkan Harbukfes Untirta

mepnews.id – Gelaran Harbukfes di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Mei 2024, di Laboratorium Terpadu, Kampus Sindangsari, berlangsung meriah. Dikabarkan situs resmi untirta.ac.id, acara ini menghadirkan GolAGong, Ria Ricis, Dahnil Anzar dan lain-lain.

GolAGong, Duta Baca Indonesia, memeriahkan acara pada 18 Mei dengan materi tentang fiksi mini. Pendiri ‘Rumah Dunia’ ini banyak mengungkap pada pengunjung rahasia menulis fiksi mini yang baik dan benar agar menjadi perhatian banyak orang.

Saat fiksi mini sedang naik pamor saat ini, ia diminta Publishing menjadi tutor via daring. Tiap selesai pelatihan, peserta menulis fiksi mini yang dipantaunya. Tulisan mereka diterbitkan SIP Publishing hingga sudah ada 120 antologi fiksi mini.

“Pembaca saat ini mudah bosan. Cerita yang panjang sering dilewatkan. Saya kira, fiksi mini relevan dengan era digital yang menuntut serba cepat. Panjang cerita fiksi mini hanya berkisar 200-500 kata,” ujarnya.

Kekuatan fiksi mini ada di ‘plot twist’ atau alur ceritanya. Karena sangat pendek, ‘ending twist’ fiksi mini harus ada. “Isinya harus penuh kejutan dan di luar dugaan,” jelas Gong.

Dalam sesi lain, Ria Ricis menarik perhatian warga Banten dan civitas academica Untirta dengan persona dan keceriaannya sebagai narasumber. Selebriti yang menulis buku ‘Saya Pamit’ dan ‘Maaf untuk Papa’ itu menjelaskan proses kreatifnya dalam menulis kisah hidup yang pernah dialaminya. Ia ‘curhat’ atas apa yang sudah terjadi dalam perjalanan hidupnya akhir-akhir ini.

“Dari semua buku, hambatan paling besar ada di buku ‘Maaf’. Rasanya berat disampaikan. Sebelum terbit, aku ngasih sampel ke beberapa orang sekitar. Responsnya, mereka nangis atau tidak bisa berkata-kata. Kata mereka, ‘ini buku berat banget.’ Bagaimana kemudian saya mengatasinya? Ya, saya berdamai dengan situasi dan memaafkan diri terlebih dahulu,” begitu curhatan Ria pada audiens.

Ria juga berpesan kepada audien untuk selalu bisa memafkan diri sendiri. Itu salah satu jalan paling ampuh dalam menjalani hidup. Bahkan bisa menjadi proses kreatif utama dalam menulis.

Dr Dahnil Anzar

Hari sebelumnya, Dr Dahnil Anzar memaparkan perspektifnya sebagai penulis. Penulis buku ‘Politik Pertahanan’ yang pernah menjadi akademisi Untirta ini mengatakan, politik pertahanan juga meliputi soal pertahanan budaya.

Ia mencontohkan, Korea Selatan mampu membangun kolonialisasi budaya dimulai dari sisi makanan, film, sampai mampu menyihir ‘style’ anak muda Indonesia.

“Sampai-sampai, saat ini standar kegantengan dipengaruhi gaya orang Korea. Yang lebih glowing atau kulitnya lebih putih itu dianggap lebih ganteng,” ujarnya dalam diskusi hari kelima Harbukfes, 17 Mei. “Padahal, di kebudayaan lain, yang lebih ganteng itu lelaki gondrong. Jadi, ganteng itu relatif dan tergantung perspektif kebudayaan.”

Menurut Dahnil, ini menjadi titik kelemahan Indonesia dalam pertahanan kebudayaan. Misal, soal gastronomi atau kuliner, banyak ‘food vlogger’ yang sama sekali tidak berbicara soal budaya dan sejarahnya.

“Bicara soal pada kuliner, misal bicara soal sejarahnya, maka banyak konten yang tidak berkonten. Beda dibanding Bondan Winarno yang kontennya berkonten,” jelas Dr. Dahnil. (*)

Facebook Comments

Comments are closed.