Oleh: Yusron Aminulloh
mepnews.id – Usai sholat duhur di masjid kecil tapi indah dan mewah, saya bertemu seorang kawan pebisnis senior yang secara ekonomi sudah mapan. Tapi, dalam dialog itu, ternyata ia kerap mengeluh.
“Mas, kenapa sekarang bisnis saya tidak semudah dulu? Zaman anak-anak saya kuliah, rasanya rezeki saya mengalir deras. Tetapi, begitu anak-anak sudah berumahtangga, berat sekali saya mendapatkan uang. Padahal manusia mana yang tidak butuh uang?”
Atas pertanyaan itu, saya tertawa dalam hati tetapi berat menyampaikan respon langsung.
Ia menambahkan, “Zaman makin berat, nilai uang turun. Pendapatan jadi minim. Sementara, kebutuhan terus meningkat. Saya sama nyonya memang cuma tinggal berdua di rumah. Tapi, intuk maintenance rumah atau mobil, tetap harus ada uang,” tambahnya.
Belum sempat saya respon, ia melanjutkan keluhannya, “Saya dulu bercita-cita, pada masa tua setidaknya usia 63 tahun saya ingin beramal, bershodaqah melimpah, beramal jariyah. Tetapi bagaimana melakukannya? Pekerjaan seret. Harapan itu hanya berhenti menjadi keinginan,” keluhnya.
“Sudah, curhatnya?” sela saya.
“Itulah masalah utama saya, Mas,” jawabnya.
“Apa emang itu masalah?” tanya saya balik.
“Ya, masalah. Karena keinginan saya belum tercapai,” jawabnya.
Saya tertawa lebar, dan memeluk badannya.
“Sampeyan sih, lihatnya ke atas terus, inginnya kesempurnaan versi manusia. Jangan-jangan, justru ini cara Allah ‘menghentikan’ nafsu duniawi kita.”
“Lho, saya sudah tidak ingin dunia, tidak lagi ingin harta. Saya hanya ingin beramal jariyah melimpah. Itu tujuan saya.”
Saya kemudian mengajak ia memaknai ‘rezeki berkah’ lalu mencari titik temunya dalam kehidupan. Banyak manusia ingin memisahkan kehidupan pribadi dan sosial. Apalagi mencoba memisahkan hidup mewah dengan memiliki rumah mentereng dan mobil mewah, tetapi anggaran untuk beramal ‘dianggap’ tidak ada.
“Kata mbah-mbah kita dulu, rezeki berkah itu adalah rejeki yang ada saat kita sedang butuh. Artinya, saat kita memerlukan, Allah langsung mencukupi. Itu sudah terbukti. Saat njenengan mengkuliahkan anak hingga menikah, Allah memberi kemudahan dengan sangat melimpah. Nah, jangan-jangan, rezeki njenengan berupa kemudahan ekonomi yang sudah tercatat di lauhulmahfudz itu sudah njenengan ambil habis di masa muda kemarin. Jadi saya berpikir, rezeki tidak unlimited,” guyon saya.
“Saya kok tidak sepaham dengan njenengan, Mas Yusron. Bukankah Allah berjanji, siapapun yang masih mau bergerak, mau ikhtiar dan berdoa, akan dipenuhi rezekinya,” ia membantah.
“Lha emang Allah sekarang tidak memenuhi rezeki njenengan? Bukankah kesehatan prima, kehidupan bahagia, dan anak-anak yang sholeh, itu rezeki juga dari Allah?” ganti saya bertanya.
“Saya paham itu, dan bersyukur. Maksud saya, bahasan kita hari ini kan rezeki berupa kelancaran kerja sehingga saya punya uang banyak untuk bisa beramal,” jawabnya.
“Itu kan keinginan ideal njenengan sebagai hamba, sebagai manusia. Padahal, belum tentu itu yang disukai Allah.”
Saya pun memberi gambaran, banyak pebisnis, saudagar dan pengusaha, yang merancang hidup mereka dengan ketat berdasarkan bidang-bidangnya. Ada bidang rezeki uang untuk anak, untuk kebutuhan maintenance rumah mewah dan mobil. Tapi, mereka juga terus minta Allah menambah rezeki berupa kelancaran bisnis sehingga mereka bisa beramal.
“Kalau memang menggebu beramal, kenapa tidak menjual salah satu mobil saja? Saya lihat njenengan punya tiga mobil mewah. Kan anak-anak sudah mandiri, jadi punya satu atau dua mobil saja sebenarnya sudah cukup. Dengan lebih sedikit mobil, njenengan bisa mengurangi pengeluaran, bisa mengurangi biaya maintenance. Saya banyak bertemu orang kaya yang menjual rumah mereka dan ganti rumah lebih kecil agar lebih mudah merawat. Uang hasil jual rumah itu mereka berikan ke anak-anak untuk sangu dan sisanya diamalkan pada yang membutuhkan,” saya menjelaskan.
“Wah, saya tidak sependapat. Ini rumah induk, mobil kenangan, yang gak mungkin saya jual,” jawabanya. “Jadi, tolonglah saya dibantu doa, dikasih amalan, agar rezeki saya lancar kayak njenengan.”
“He..hee gak ada amalan khusus bagi saya. Cuma, dulu saya sudah puluhan tahun hidup prihatin, dan di usia senja ini saya baru dikasih Allah kerjaan lancar. Jangan-jangan, saya dulu belum pernah mengambil rezeki yang sudah disediakan Allah dan tercatat di lauhulmahfudz.”
“Tapi, Mas…” selanya.
“Begini, sahabat. Rasanya kita kok beda manajemen. Kalau saya punya rezeki, langsung sudah saya bagi habis untuk keluarga, untuk pendidikan anak-anak, untuk amal sosial, secara bersamaan. Banyak orang membagi 100% waktunya menjadi 50% untuk bekerja, 30% untuk keluarga, 10% istirahat, 10% ibadah. Saya memilih berbeda. Waktu dan energi saya 1000% juga saya bagi, yakni 100 % untuk bisnis, 100 % untuk keluarga, 100 % sosial, 100 % ibadah, dan lain-lain. Jadi waktu dan energi saya sisa melimpah.”
Ah, saya kok tidak sependapat,” jawabnya.
Belum selesai dialog, ada bunyi telepon, tapi tidak saya angkat. “Maaf, saya dipanggil Kapolda. Mohon pamit dulu.”
“Ada apa Mas kok dipanggil Kapolda? Ada masalah apa?” ia balik tanya dengan kaget.
“Maksud saya, itu telepon dari istri saya. Istri saja itu melebihi Kapolda. Entah kita jadi pengusaha, profesor, atau lainnya, jangan coba-coba menunda panggilan telepon istri. Bisa bahaya…ha ha haa.”
Kami berdua bersalaman dan berpelukan, dan beranji diskusinya dilanjutkan kapan-kapan.
Penulis adalah CEO DeDurian Park Group dan Ketua ISMI Jatim.