Tradisi Atolong di Bawean

Oleh: Mohammad Rafi Dwika

mepnews.id – Bawean pulau yang sangat istimewa. Mengapa demikian? Karena, meski ukurannya kecil, Bawean memiliki berbagai potensi. Mulai dari beragam jenis hasil laut, berbagai pemandangan alam menakjubkan, minim polusi udara, hingga boleh dikata seluruh penduduknya beragama Islam.

Di tengah hantaman arus globalisasi, Bawean juga salah satu pulau di Indonesia yang masih mampu mempertahankan tradisi turun-temurunnya. Masyarakat Bawean sadar tradisi-tardisi tersebut perlu dilestarikan supaya tetap dilanjutkan generasi selanjutnya.

Dari banyaknya tradisi di kalangan masyarakat Bawean, terdapat satu yang sangat menarik untuk diulas. Tradisi ini menyebar ke seluruh pelosok desa, hanya saja cara pelaksanannya mungkin berbeda. Tradisi tersebut biasa disebut dengan atolong.

Secara umum, tradisi atolong dilakukan oleh masyarakat desa di semua wilayah Bawean dengan tujuan sama yakni meringankan beban pihak yang punya hajat. Namun, pelaksanaan di masing-masing desa berbeda pada teknis kegiatan dan bentuk sumbangannya.

Salah satu yang unik dan menarik dikaji adalah tradisi atolong di Desa Bululanjang, Kecamatan Sangkapura. Proses kegiatan atolong dimulai sejak 2 atau 3 hari sebelum acara inti digelar. Pemilik hajat mengundang tokoh masyarakat dan tetua kampung untuk bermusyawarah (reka-reka) terkait hajatannya.

Dalam reka-reka ini, pemilik hajat menyampaikan bentuk dan kebutuhan acara hajatannya. Kebutuhan akan barang biasanya berupa bahan pokok. Diharapkan, para tetua kampung yang dihadirkan kemudian menyampaikan kepada warga lain terkait bahan pokok yang dibutuhkan untuk acara tersebut. Bahan pokok yang biasanya dibutuhkan adalah beras, gula, minyak, serta makanan ringan.

Kemudian, para ibu berbondong-bondong mengantarkan sumbangan ke rumah orang yang punya hajat agar bisa digunakan sesuai kebutuhan. Setiap hari, para ibu juga membantu persiapan acara. Mereka membantu tak kenal waktu. Pagi, siang, sore bahkan malam, mereka bersama–sama secara kompak dan sukarela membantu persiapan acara sampai acara selesai. Bahkan, ketika acara selesai, ibu-ibu tetap membantu mengembalikan segala sesuatunya sampai semua keadaan kembali seperti sedia kala.

Sementara, bapak–bapaknya ikut membantu persiapan perlengkapan dan ikut menemani para ibu saat harus memasak malam hari karena acaranya biasanya dilaksanakan pagi hari.

Sobat, begitu besarnya rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang tercermin dalam tradisi atolong di Desa Bululanjang. Sesama warga sangat antusias dalam menolong satu sama lain tanpa membeda-bedakan latar belakang, kondisi keluarga, maupun yang lainnya.

Nah, warga Desa Bululanjang masih bisa menjaga tradisi di tengah maraknya individualisme di era globalisasi. Mereka tidak terpengaruh sama sekali dengan budaya negatif dari luar.

Lantas, bagaimana dengan kita? Kita sebagai generasi muda apakah bisa menjaga tradisi di daerah kita masing-masing?

Mari bersama menjaga tradisi baik yang bisa mempererat tali persaudaraan di antara kita agar masyarakat Bawean khususnya terhindar dari konflik sosial yang mulai banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Facebook Comments

Comments are closed.