mepnews.id – Peringatan Bulan Bahasa dan Sastra pada Oktober menghantarkan ingatan pada peristiwa Sumpah Pemuda. Pada momen itu, para pemuda sepakat menjadikan bahasa Indonesia sebagai identitas di tengah masyarakat yang plural.

Dr Ni Wayan Sartini dosen Fakults Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Terkait peringatan itu, Dr Dra Ni Wayan Sartini MHum pakar bahasa dari Fakults Ilmu Budaya Universitas Airlangga menyampaikan Bulan Bahasa bukan sekadar perayaan. Menurutnya, ada satu esensi yang seharusnya masyarakat Indonesia miliki.
“Esensinya adalah bagaimana kita melihat, merefleksikan, dan memperhatikan kembali sejauh mana perkembangan bahasa kita. Usaha-usaha apa yang sudah kita lakukan dalam mengembangkan, melestarikan, menjaga, dan juga menghargai bahasa kita,” terangnya.
Peringatan Bulan Bahasa harusnya terisi dengan kegiatan bermakna, kegiatan yang dapat menjadikan masyarakat merefleksikan kembali bahasa Indonesia sebagai identitas. “Dengan cara apa kita memperingati? Dengan kegiatan-kegiatan. Dengan berkegiatan, berarti kita memiliki perhatian terhadap bahasa kita,” ujarnya.
Sebagai contoh, kegiatan seminar, lomba, diskusi, dan usaha-usaha lain untuk meningkatkan kompetensi kebahasaan. Kegiatan tersebut memberikan penghargaan kepada bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa dan cerminan budaya. “Bahasa itu kan cermin budaya. Kalau kita tidak memperhatikan bahasa kita terus siapa lagi yang memperhatikan?”
Saat ini, pemerintah menggalakkan usaha untuk mewujudkan cita-cita bahasa Indonesia menjadi bahasa global. Wayan Sartini mendukung usaha itu dan menganggapnya sebagai angin segar. Kendati demikian, itu bukan hal yang mudah.
Yang sering terabaikan justru masalah penggunaan bahasa oleh masyarakat Indonesia sendiri. Menurutnya, penting untuk menyelesaikan masalah itu terlebih dahulu sebelum internasionalisasi benar-benar terwujud.
“Tentu banyak faktor untuk menjadi bahasa Internasional. Selesaikan dulu permasalahan di dalam penggunaan, norma-normanya, baru kita berpikir untuk menginternasionalisasi bahasa,” ungkapnya.
Maka dari itu, masyarakat dengan pemerintah sebagai penopang perlu membumikan bahasa Indonesia. Setiap lapisan dapat memulai dengan penggunaan kosa kata yang sudah ada dalam bahasa Indonesia daripada menggantikannya dengan istilah asing.
“Baiknya, semua istilah bahasa asing itu diindonesiakan. Mungkin bisa menggunakan istilah-istilah yang sudah membumi. Misal, powerpoint. Itu bisa menggunakan istilah ‘salindia’,” imbuhnya.
Ia sadar tidak sedikit masyarakat yang justru meremehkan pembelajaran bahasa Indonesia. Maka, ia berpesan agar masyarakat lebih menghargai bahasanya sebagai wujud menghargai dirinya.
“Jadi marilah kita tetap berbahasa Indonesia. Menghargai bahasa Indonesia berarti kita menghargai siapa diri kita sebenarnya, menghargai apa yang kita miliki, serta menghargai kekayaan kita sendiri,” kata ia. (*)