Oleh: Esti D. Purwitasari
mepnews.id – Lumayan sering saya dicurhati teman atau kenalan yang belum atau tidak menikah. Yang belum, ingin nikah tapi jodohnya masih jauh. Yang tidak menikah memang diniati selibat. Salah satu alasan selibat adalah keyakinan.
Masalahnya, teman-teman saya ini hidup dalam masyarakat yang umumnya berpasangan. Di antara banyak orang lain yang berpasangan, teman-teman saya ini merasa berbeda. Nah, rasa berbedanya ada yang sampai ke level tidak percaya diri.
Saya tidak dalam kapasitas membahas aturan atau tradisi tertentu, ya. Yang saya mau bahas di sini adalah beberapa kasus rasa tidak percaya diri terkait kondisi tidak menikah. Kasus orang merasa tidak nyaman dengan kondisi dirinya sendiri terutama saat berada di antara orang-orang lain.
Krisis rasa percaya diri bisa timbul karena beberapa alasan. Orang yang selibat kadang merasa terkucil atau berbeda dari teman-teman atau keluarga yang menikah atau hidup berpasangan. Perasaan ini bisa membuat mereka merasa sulit berhubungan dengan orang lain. Lebih-lebih jika mereka membandingkan diri dengan orang lain yang menikah.
Di sisi lain, ada sebagian orang dalam masyarakat yang tidak paham tentang selibat. Tak pelak, orang yang selibat bisa menjadi ‘korban’ stereotip dalam masyarakat. Karena tidak paham, ada beberapa orang yang mengata-ngatai negatif pada orang selibat.
Terus, bagaimana agar menjadi percaya diri?
Jika selibat itu diyakini sebagai panggilan untuk berbakti pada keyakinan tertentu, patuhilah sepatuh-patuhnya. Jika itu pilihan yang didasarkan pada panggilan religius atau spiritual, jalanilah dengan iman. Kalau sudah jadi pilihan hidup mulia, maka tidak ada alasan untuk tidak percaya diri.
Jangan lupa, pelajari cara mengelola emosi dengan sehat. Identifikasi dan artikulasikan perasaan dengan jujur, dan temukan cara untuk mengekspresikannya dengan konstruktif. Jangan membandingkan hidup dengan orang lain. Setiap individu memiliki panggilan dan jalan spiritual yang unik.
Temukan teman, anggota komunitas seiman, atau profesional kesehatan mental yang dapat mendukung secara emosional dan bisa memberikan wadah untuk berbicara hati-ke-hati. Sekadar membicarakan pengalaman dan perasaan dengan orang-orang yang dapat memahami masalah terbukti dapat membantu menguatkan kepercayaan diri.
Meski selibat, tetap jaga keseimbangan hidup sosial. Pertahankan hubungan dengan teman, keluarga, dan komunitas. Selibasi bukan penghalang dari interaksi dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Sering-sering melakukan pelayanan atau kegiatan sosial di masyarakat. Fokus pada hal-hal positif dalam hidup.
Kepercayaan diri itu dapat dibangun dan dipertahankan melalui refleksi, dukungan, dan tindakan positif. Jangan biarkan rasa kurang percaya diri karena perbedaan lantas mengganggu atau membebani pikiran.