Oleh: Sholehah Yuliati
mepnews.id – Dzulhijah diyakini banyak orang sebagai bulan yang sangat baik untuk mengadakan hajatan, mulai dari walimatul ursy, walimatul khitan, hingga pindahan rumah. Dari jaman saya masih imut sampai ubanan, bulan Dzulhijah masih jadi favorit untuk hajatan.
Orang Jawa menyebutnya Ulan Besar. Nama ini menurut saya cocok. Kenapa? Di bulan Dzulhijah, akan lebih besar pula pengeluaran. Artinya, kami di bulan Dzulhijah harus menyiapkan dana lebih besar daripada bulan-bulan lainnya. Untuk apa? Untuk buwuh (datang ke tempat orang yang punya hajat).
Dari obrolan sesama, ada teman yanga pada bulan Dzulhijah mendapatkan 5-10 undangan buwuhan. Apalagi perangkat desa. Pada bulan itu, hampir setiap hari ia buwuh di rumah warganya. Bisa juga, sehari lebih dari satu hajatan.
Berbincang masalah hajatan, saya teringat kebiasan orang jaman dulu di tempat tinggal saya di Bojonegoro. Pada tahun 1970-an, orang yang mempunyai hajat selalu nanggap spiker (menyewa alat speaker atau pengeras suara). Spiker itu dipasang menggunakan bambu dengan ketinggian sekitar 3 meter atau lebih tinggi daripada rumah. Perangkat itu dilengkapi dua spiker corong yang suaranya cempreng tapi jangkauannya bisa mencapai 2 kilometer. Spiker corong dipasang untuk menyampaikan pesan kepada sanak saudara bahwa hari itu ada yang ewuh (punya hajat). Bila spiker sudah berbunyi, tanpa undangan pun orang akan berdatangan untuk buwuh.
Orang-orang pun getok tular (menyampaikan pesan secara estafet dari mulut kee mulut). “Hari ini Pak Dul ewuh mantu (Pak Dul punya hajat menikahkan anaknya).” Tanpa komando, berbondong-bondong orang akan datang ke rumah Pak Dul membawa ember berisi beras yang di atasnya ditambah gula, kelapa, roti kasur dan jodang (kotak panjang untuk menaruh penganan atau barang-barang pinangan). Bagi orang yang mampu, jodang akan diisi berbagai macam makanan khas. Misalnya; rengginang, kucur, opak (krupuk besar berbentuk bulat), kue bolu, telur rebus yang jumlahnya masya Allah banyak banget.
Kebiasaan tanpa ada undangan namun saling sungkuyung (saling membantu) itu mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan. Orang yang pulang buwuh juga tidak kosongan. Embernya diisi makanan yang disebut berkat (imbalan untuk yang datang) oleh yang punya hajat. Biasanya berkat berisi nasi dibungkus daun jati, sayur blonceng dicampur kacang tholo. Wuihh itu udah enak banget.
Untuk pasang spiker corong hajatan, ada kebiasaan yang asyik, unik, bahkan ada nilai tertentu. Seolah wajib hukumnya. Yang pertama diputar adalah mengaji/qiro’ah. Dilanjutkan lagu ‘Lari Pagi’ dari Rhoma Irama. Seakan menyampaikan pesan pada kita; mulailah hidup dengan mengingat Allah SWT, lalu jaga kesehatan dengan berolah raga, bila ingin bahagia. Kemudian dilanjutkan lagu-lagu artis lain, misalnya Elvy Sukaesih, Meggy Z., Evie Tamala, yang masing-masing kondang di jaman itu.
Tahun 1990-an, kebiasaan-kebiasaan itu berubah. Bila mempunyai hajatan, orang harus menyebar undangan agar yang diundang mau datang. Acaranya di gedung, makannya prasmanan, spiker corong diganti sound system lebih bagus. Tapi, eh, lagu pertama yang diputar berjudul “Bojomu Semangtku.” Pesan moralnya jadi hilang, kan?
Mulai tahun 2000-an, kebiasaan lama terulang namun dengan cara berbeda. Di Desa Pacul, orang yang buwuh dicatat bawa buwuhan apa. Tujuannya, nanti bila orang yang datang tadi ewuh maka buwuhan-nya dikembalikan dalam bentuk yang sama.
Nah…, di Desa Pacul, ada budaya arisan buwuhan. Beberapa orang menyumbang barang dengan jumlah besar. Nanti kalau si penyumbang ini punya hajat maka sumbangannya harus dikembalikan dalam jumlah dan jenis yang sama oleh orang yang baru disumbang. Misalnya, jika A menyumbang kelapa satu sak pada B yang sedang ewuh, maka kelak B harus kembali kelapa satu sak kepada A saat ewuh. Jika menyumbang telur 10 kg, ya kembalinya telur 10 kg. Menyumbang gula 30 kg, kembali gula 30 kg.
Arisan buwuhan ini enak tapi juga merepotkan. Bu Min, salah satu warga Pacul yang akan mengadakan walimatul ursy putri pertamanya, mengatakan jika ada yang tidak mengikuti itu akan dikucilkan oleh warga. “Saya sebenarnya merasa keberatan, Bu. Tapi, bagaimana lagi? Kalau tidak mengikuti, nanti saya tidak dibantu.”
Bu Min lalu menceritakan kisahnya. “Saya pernah disumbang telur 10 kilogram oleh Bu Sum. Ketika Bu Sum punya hajat, ya saya harus mengembalikan telur 10 kilogram. Kalau pas ada uang sih, tidak masalah. Kalau saya pas tidak ada uang, bagaimana? Pak Min juga kerjanya tidak mesti. Lha yoo nangis aku yan ra iso mbalikno, Bu (saya jadi menangis jika tidak bisa mengembalikan). Akhirnya saya harus berhutang.”
Bu Min juga menceritakan, “Sak derenge ewuh yoo kudu angsul-angsul to, Bu (sebelum hari H hajatan, kita harus mengirim penganan dulu pada orang yang hendk menyumbang). Ini juga butuh biaya. Tapi sak jane yo enek enak’e, Bu. Podho karo nyelengi. Nek aku ewuh, dho balik (Tapi, sebenarnya ada untungnya juga. Seperti menabung. Kalau saya punya hajat nanti, semua juga kembali).”
Dari sekian banyak perubahan, ada satu yang tetap sama. Pilihan waktu hajatan tetap bulan Dzuhijah yang paling favorit. Tetap paling banyak acara hajatan.
Dari kisah metamorfosa hajatan ini, menurut saya, tinggal niatnya saja. Mau model jodang, amplop atau arisan, kalau diniati ibadah, semua ya tetap aman, nyaman dan bahagia.