Upaya Menjaga Kekerabatan di Tanian Lanjang

Oleh: Nanik Nurhayati

mepnews.id – Masyarakat Bondowoso tinggal di pulau Jawa bagian timur, dalam wilayah Provinsi Jawa Timur. Sebagian besar penduduknya beretnik Madura. Jika ditilik dari garis keturunan, masyarakat Bondowoso umumnya mengikuti pola matrilineal. Maka, dalam tradisi masyarakat Madura, perempuan memiliki posisi istimewa.

Dalam tata atur dan kepemilikan rumah, perempuan adalah pemilik sekaligus pemakai rumah. Ketika anak perempuan menikah, orang tua mempunyai ‘keharusan’ membuatkan rumah. Para orang tua biasanya menerima menantunya tinggal di rumah yang disiapkan buat putrinya.

Terkait ini, ada tradisi tanian lanjang (taneyan lanjhang). Jika diterjemahkan, ‘tanian’ berarti ‘halaman’ dan ‘lanjang’ berarti ‘panjang’. Jika digabung, berarti ‘halaman yang memanjang.’ Karena masih berkerabat, penghuni beberapa rumah yang menjadikan tanian lanjang ini sebagai halaman bersama. Halaman ini dimanfaatkan sebagai tempat anak-anak bermain, menjemur pakaian dan aktivitas lainnya.

Tradisi ini masih bertahan hingga sekarang, terutama di pedesaan. Ini karena pada umumnya masyarakat yang tinggal di suatu wilayah tertentu dalam salah satu kecamatan masih ada pertalian darah atau persaudaraan.

Dalam sistem tanian lanjang, halaman luas dibagi-bagi menjadi beberapa petak bagi sejumlah anak keturunan untuk dibangun rumah-rumah. Tanian sifatnya terbuka dengan pembatas yang tidak permanen. Jika ada keluarga yang mampu, atau memiliki lahan cukup luas untuk tempat tinggal, biasanya ada semacam ketentuan tidak tertulis agar tidak menjual lahan tersebut melainkan digunakan untuk dibangun rumah tinggal.

Bangunan rumah berdiri di atas tanah yang lantainya bervariasi. Mulai dari tanah yang dikeraskan sampai pemakaian bahan lain seperti plesteran dan keramik. Pemakaian bahan tergantung kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Bahan untuk dinding dan struktur terdiri dari kayu, tembok, bambu atau bidik. Penutup atap menggunakan genteng. Bahan pintu utama rumah selalu dari kayu. Ukiran hanya digunakan pada masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi.

Ibu-ibu memasak bersama di dapur induk untuk hajatan.

Adanya tanian lanjang mempererat kekerabatan. Sebagian besar anggota kerabat bisa melakukan berbagai kegiatan secara bersama. Dari anak-anak sampai orang dewasa bisa bermain bersama atau mengerjakan sesuatu bersama. Bila ada hajatan ataupun sekadar arisan yang ada jamuannya, dapur di rumah induk pasti dibuat lebih luas. Teras depan dibuat memanjang agar anggota keluarga bisa berkumpul lebih leluasa. Dengan tidak terbatas ruang, bisa lebih mengakrabkan jalinan kekeluargaan.

Namun, untuk beberapa kegiatan yang dikerjakan melibatkan keluarga sendiri, sekarang menjadi hal sangat sulit di tempat-tempat tertentu. Saat ini kebanyakan anggota keluarga bekerja di luar kota dan menetap di tempat terdekat dengan lokasi kerja. Akhirnya, mereka hanya pulang kampung saat libur atau cuti bersama. Itu pun tidak menutup kemungkinan mereka lebih memilih menginap di hotel atau penginapan saat pulang kampung.

Pertimbangannya, anggota keluarga semakin banyak sehingga rumah asal tidak memungkinkan menampung keluarga besar. Berbagai alasan yang menyebabkan mereka tidak tidur di rumah warisan orang tua. Bahkan, ada yang sebentar pulang ke rumah asal, hanya ngobrol, lalu makan, seperti layaknya tamu yang berkunjung. Dengan berbagai macam alasan kesibukan, mereka kembali ke tempat kerja.

Kadang, anak-anak justru lebih sibuk mainan ponsel.

Saat ini, seiring perkembangan teknologi dan tuntutan pekerjaan, kekerabatan semakin dikhawatirkan merenggang. Anak-anak hingga orang dewasa tidak bisa lepas dari gadget. Benda kecil yang sangat bermanfaat dan membantu komunikasi ini justru menjadi perusak kekerabatan jika penggunanya tidak bisa menempatkan diri. Sebelum adanya piranti canggih ini, silaturahmi antar keluarga selalu penuh keakraban. Saat ini, orang-orang cenderung lebih sibuk dengan benda kecil yang mereka selalu genggam. Tertunduk tanpa peduli sekitar. Tiada lagi canda tawa, senda gurau. Mereka lebih memilih tertawa dengan handphone masing-masing.

Jika hal ini dibiarkan tanpa adanya penyelamat kekerabatan, maka generasi penerus tidak tahu bagaimana tatakrama dalam menjalin silaturahmi. Mereka juga semakin enggan bersilaturakhmi, karena lebih memilih diam di tempat dengan benda kecil kesayangan yang bernama gadget.

Dari kenyataan ini, mari kita bersama-sama menyelamatkan tradisi yang sudah hampir hilang karena adanya perkembangan dan kemajuan teknologi. Teknologi seharusnya membawa manfaat bagi generasi penerus. Di sisi lain, kecanggihannya malah mengancam kekerabatan yang pernah menjadi kebanggaan bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bondowoso pada khususnya.

 

  • Penulis adalah guru di Bondowoso

Facebook Comments

Comments are closed.