Tradisi Santri Cangkruk di Bondowoso

Oleh: Siti Mutawarridah

mepnews.id – Semburat senja mencakar langit. Bias lembayung terbelai cahaya. Menanti mentari kembali ke peraduannya. Suasana sore hari di kampung Bondowoso, kota kecil bagian timur Pulau Jawa.

Sudah jadi tradisi bagi anak-anak desa untuk pergi mengaji kala sore tiba. Setelah lelah bermain di sawah, di sungai, dan di hamparan tanah lapang bersama teman, mereka menuju langgar atau musala. Belajar ilmu agama Islam kepada guru ngaji atau Pak Kiai. Tempat mereka mengaji dan salat berjamaah di langgar ini dikenal dengan istilah ‘Langgar Cangkruk’.

Mereka berbondong-bondong seraya bersenda gurau menuju langgar. Sebelum azan Maghrib berkumandang, mereka harus sudah tiba. Secara suka rela, anak-anak menyapu halaman langgar, membersihkan langar, dan membersihkan rumah Pak Kiai. Tak jarang, mereka juga mencuci piring dan menimba air untuk mengisi bak mandi tanpa disuruh. Itu bergiliran seakan sudah terjadwal setiap hari.

Suara bedug menggelegar merambat ke seluruh pelosok kampung. Pertanda azan Maghrib segera dikumandangkan melalui pengeras suara atau spiker. Lantunan azan seorang kakek dengan suara parau mampu menembus dinding-dinding rumah. Getaran resonansi menjadi daya pikat tersendiri mengetuk kalbu warga melaksanakan salat berjamaah. Dilanjutkan dengan membaca puji-pujian atau salawat nabi. Nada yang sederhana, mudah dihafal dan diingat. Isi puji-pujian itu mengandung doa dan nasihat kehidupan sehingga menjadikan jiwa tentram.

Contoh syair puji-pujian yang mengandung doa agar menjadi orang istiqomah dan meninggal dalam keadaan husnul khotimah, sebagai berikut:

Laa ilaaha illallah. Al Malikul Haqul Mubin. Muhammadun Rasulullah. Shodiqul Wa’dil Amin.

Yaa Allah, kaule nyoon. Ibada se istiqomah. Yaa Allah kaule nyoon. Mateh kuleh husnul khotimah.

Langgar cangkruk ini unik. ‘Cangkruk’ dalam bahasa Jawa adalah duduk. Maka, semua santri yang mengaji dalam posisi duduk di lantai. Duduk bersila menghadap guru ngaji. Langgar cangkruk merupakan bangunan mirip gazebo.  Terbuat dari kayu sebagai bahan penyangga dan bingkainya. Dinding yang mengitari bangunan terbuat dari anyaman bambu atau tabing. Terdapat beberapa kaki sebagai penyangga, sehingga ada jarak antara tanah dan dasar langgar. Fungsi jarak lantai langgar dengan dasar tanah agar terhindar dari gangguan binatang. Atap langgar terbuat dari daun tebu, ada juga dari genteng. Di samping kanan dan kiri terdapat jendela sebagai sirkulasi udara.

Di setiap langgar terdapat pengeras suara atau spiker dengan energi dari akki. Posisinya terletak lebih tinggi darpada langgar, dengan tujuan suara azan atau suara pengumuman bisa terdengar semua masyarakat sampai jauh. Penyangga spiker menggunakan bambu dengan tinggi 10 sampai 15 meter. Moncong spiker diarahkan ke berbagai arah berbeda. Tersedia juga sound system berupa tape recorder atau radio.  Saat bulan puasa tiba, masyarakat menunggu azan Magrib dan saat Imsak melalui siaran radio. Suara radio diperdengarkan melalui pengeras suara.

Di sisi barat langgar ada ruang persegi panjang yang menonjol ke luar. Ruang itu tempat imam salat yang selalu diberi alas sajadah. Rak tempat Alquran berada di tepi bangunan. Kalau kebersihan kurang diperhatikan, maka sering terdapat binatang kecil semacam kutu. Jika banyak serangga di antara sela-sela tikar, baunya menyengat. Kutu ini menggigit dan menghisap darah dengan menimbulkan rasa gata-gatal di kulit. Kutu ini oleh orang Bondowoso disebut ‘geletah’ dan oleh orang Jawa disebut ‘tinggi’. Bagi para santri, gigitan geletah ini sudah tidak asing lagi di sepanjang malam.

Alas yang digunakan di langgar berupa tikar anyaman mendong. Warnanya ada yang putih polos, ada yang warna-warni. Ada juga ‘dampar’, tempat meletakkan Alquran saat mengaji. Dampar terbuat dari kayu berbentuk persegi, sehingga bisa dilipat dan disusun rapi saat tidak dipakai. Sebagai bahan penerang, ada lampu oblek dengan bahan bakar minyak tanah. Oblek ini terbuat dari kaleng bekas yang diberi sumbu. Api oblek sering menari meliuk-liuk ditiup angin. Kalau terpaan angin agak besar, cahaya oblek sering padam karena tidak ada pelindung. Anak-anak rela menggunakan telapak tangan untuk melindungi cahaya oblek dari hembusan kuat angin. Tenti saja agar cahaya oblek tidak padam. Karena terlalu dekat, terkadang hidung anak-anak menjadi hitam usai mengaji karena jelaga dari api oblek.

Ada alat penerang lain yang disebut Petromak atau Strongking. Karena terbuat dari stainless steel, harganya cukup mahal sehingga tidak semua orang memiliki. Lampu dengan pompa tekan ini diletakkan menggantung di posisi tengah langgar agar mampu menyinari seluruh ruangan.

Petromak juga menggunakan bahan bakar minyak tanah. Terdapat sumbu putih yang diikatkan di bagian tengah lampu. Sumbu putih itu mengikat ‘kaos lampu’. Kaos ini berupa kantong kecil mirip  saat  menggunakan kaos kaki. Ketika kaos ini terkena semprotan lembut minyak yang terbakar, bisa memendarkan cahaya putih yang cukup terang. Agar minyak dari tabung di bawah bisa tersemprot ke atas, perlu dipompa sekitar tiga jam sekali.

Menjelang petang, kaum laki-laki bertugas menyalakan lampu Petromak. Tepat di bawah kaos lampu, terdapat cekungan kecil sebagai tempat spiritus. Cara memasukkan spiritus dengan menggunakan wadah yang didesain khusus. Wadah spiritus terbuat dari kaleng berwana kuning keemasan. Bagian tepi kaleng terdapat pipa kecil memanjang berfungsi mengalirkan spiritus agar tepat sasaran ke wadah. Untuk bisa masuk, semprong lampu diangkat sedikit sehingga pipa spiritus bisa masuk. Spiritus dibakar dengan korek api. Kilatan api menjilat bagian kaos lampu membuat lampu menyala. Lalu dipompa menggunakan tangan sedikit demi sedikit sampai kaos lampu menyala biru seperti cahaya neon.

Mengaji Alquran dilaksanakan usai salat Magrib berjamaah. Anak-anak kecil mengaji alif-alifan dengan sistem Baghdadi. Mereka mengeja; alif fatha a, bak fatha ba, tak fatha ta. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok dan didampingi santri yang sudah dewasa. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 – 6 orang. Pendamping membantu dengan telaten dan sabar agar anak-anak kecil bisa belajar membaca Alquran. Tak pernah mengeluh, mereka belajar sampai lancar dan mampu membaca bacaan yang sudah disambung. Sistem mengaji dengan bimbingan pendamping teman sejawat ini dinilai sangat efektif, dan masih digunakan sampai saat ini.

Santri yang sudah lancar mengaji kemudian menyetor bacaan di depan Pak Kiai. Mereka maju secara bergiliran sesuai urutan tempat duduk. Setoran membaca Alquran sekitar satu makra sampai dua makra. Sang Kiai menyimak dan memperbaiki bacaannya. Sesekali bertanya hukum bacaan berdasar ilmu tajwid, memperbaiki makhroj pada masing-masing huruf hijaiiyah.

Pukul 20.00, kegiatan mengaji selesai. Para santri pulang bersama teman-tema menyusuri lorong-lorong gelap di kampung.  Sering terjadi kaki mereka tersandung bongkahan tanah atau tersangkut akar tumbuhan. Maka, obor menjadi alat penerang handalan yang mudah didapat. Obor atau suluh terbuat dari bambu wuluh atau tangkai daun pepaya. Minyak tanah jadi bahan bakar obor. Sumbunya tebuat dari kain perca atau sabut kelapa.

Selain obor, ada juga santri yang membawa senter. Di Bondowoso, itu lebih dikenal dengan istilah ‘pateri’ atau ‘sentolop’.  Patri terbuat dari seng berbentuk memanjang sekitar 20 cm. di dalam tabung seng, ada rangkaian 2 atau 3 baterai sebagai bahan listrik untuk menyalaka lampu kecil dop agar mengeluarkan cahaya. Lampu kecil itu berada di ujung senter dan dilindungi kaca berbentuk lingkaran. Agar cahaya mengarah ke depan, di sekitar lampu dop itu terdapat reflector berbentuk parabola kecil. Sebagai alat kontrol menghidupkan atau mematikan senter, ada tombol on-off. Jauh dekatnya cahaya bisa diatur hanya dengan memutar kepala senter ke arah kanan dan ke kiri saja.

Ada dua hari dalam seminggu anak-anak tidak mengaji Alquran. Malam Selasa, jadwalnya membaca burdah. Malam Ahad, jadwalnya membaca kitab Sullam Syafina dan Ta’lim Muta allim.

Burdah adalah bacaan shalawat terhadap Baginda Nabi Muhammad Saw. Syair burdah berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad saw, doa kesembuhan, pesan moral, nilai spiritual dan semangat perjuangan. Syair burdah sering dibaca saat memperingati maulid Nabi Muhammad Saw.

Contoh syair burdah

Maulaya sholli wasallim daaiman abadan ‘ala habibika khoiril kholqi kullihimi.

Huwalhabibulladzi turja syafa ‘atuhu. Likullihauliminal ahwali muqtahami.

Amin tadzakkuriji roni bidzi salami. Dazajta dam’an jaroo muqlatim bidami.

Am habbatirrihu mintiqooi kaadhzimatin, wa auwmadhzol barqu fidz dhzomaai idhzomi.

Ya Robbibil Musthofa balligh maqoo sidana, waghfirlana mamadhzo yaa wa-sia’al karomi.

Anak-anak juga belajar membaca dan menulis Arab Pegon. Ini abjad bahasa Arab yang dimodifikasi dengan Bahasa Madura atau Bahasa Indonesia. Tulisan Arab tapi menggunakan Bahasa Madura atau Bahasa Indonesia.

Jus Amma atau jus 30 paling sering dibaca semua santri. Ini membuat santri lebih mudah menghafal mulai dari surat Adh-dhuha sampai Al-Ikhlas.

Bagi yang sudah khatam 30 jus, merupakan kebanggan terutama bagi kedua orang tua. Wali santri mengadakan tasyakuran khataman atau ‘selametan’. Semua kegiatan dikemas dalam acara imtihan akhir sanah pada bulan Sya’ban. Imtihan diisi pengajian dari muballigh dan dihibur dengan lagu kosidah. Kegiatan berlangsung tiga hari yang terdiri dari beberapa acara; Khataman Alquran dan Semaan. Ada juga atraksi penampilan masing-masing santri di atas panggung sesuai bakat. Ada parade pawai jalan kaki mengelilingi kampung dengan iringan rebana. Semua santri yang khatam 30 jus memakai pakaian putih diarak di barisan depan. Semua wali santri dan masyarakat hadir untuk menyaksikan acara imtihan.

Pada masa belajar, sebagian santri laki-laki bermalam di langgar. Mereka tidur di serambi depan atau ruang yang sudah disediakan khusus untuk bermalam. Tidur beralaskan tikar dan bantal kapuk seadanya. Sebelum tidur, anak-anak bermain petak umpet atau kejar-kejaran. Kadang mencari jangkrik sekitar sawah menggunakan obor atau senter. Ubi bakar menjadi santapan malam saat perut mulai lapar. Mereka tampak akrab dan senang bersama teman-tema.

Pendidikan karakter ditanamkan sangat kuat. Tata krama dan sopan santun terhadap kiai dan keluargnya sangat menghujam. Para santri dan wali santri sangat patuh dan menghormati kiai. Jika kiai lewat, serentak semua satri diam menghentikan semua aktivitas dan menundukkan kepala. Mereka tidak berani berbicara, apalagi bergurau

Kiai zaman dulu mengajar mengaji tanpa upah sepeser pun. Kiai dengan ikhlas menyampaikan ilmu agama. Para kiai itu sama seperti masyarakat umumnya yang mencari nafkah untuk keluarga. Namun, mereka masih meluangkan banyak waktu untuk para santri. Ada kiai yang berdagang kecil-kecilan, ada juga yang bertani. Terkadang, ada santri yang membantu menjajakan dagangan Pak Kiai.

Para kiai secara ikhlas dan tulus mengajar membaca Alquran. Benar-benar mengabdi, meluangkan waktu, demi anak-anak bangsa agar memilki ilmu agama. Kehidupan sangat sederhana tercermin dalam jiwa besar. Semua dilakukan dengan semangat pengabdian dan panggilan jiwa. Para kiai merasa bangga dan bahagia jika banyak anak-anak pandai mengaji dan berilmu.

Tak pelak, para kiai benar-benar menjadi panutan dan cermin bagi masyarakat. Tempat mengadu jika ada permasalahan urusan dunia atau akhirat. Maka, kepatuhan pada guru ngaji tak diragukan lagi. Petuah dan nasihat yang disampaikan selalu diikuti. Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini benar-benar mengakar. Akhlak yang mulia menghiasi setiap jiwa santri.

 

  • penulis adalah Kepala SDN Pancuran 1 Bondowoso yang telah menghasilkan sembilan buku dan kepala sekolah inspiratif nasional 2021.

Facebook Comments

Comments are closed.