mepnews.id – Menteri Kesehatan Ir Budi Gunadi Sadikin CHFC CLU memastikan vaksinasi kanker serviks atau vaksin human papillomavirus (HPV) akan menjadi program wajib pemerintah mulai 2022. Meski telah ditegaskan vaksinasi ini akan dibiayai pemerintah, pro-kontra berkaitan dampak negatif vaksin HPV masih terus terdengar di kalangan masyarakat.
Dr dr Brahmana Askandar SpOG(K), kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) sekaligus Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI), memberikan pendapatnya tentang vaksinasi itu.
Ia menjelaskan, kanker serviks merupakan yang terbanyak kedua pada perempuan di Indonesia. Hal ini ironis karena kanker serviks adalah yang paling bisa dicegah. “Perjalanan penyakitnya, mulai dari normal hingga jadi kanker, berlangsung dalam waktu lama. Lebih dari sepuluh tahun. Selain itu, ada deteksi dini yang praktis dan efektif bernama pap smear serta ada vaksinasinya.”
Di luar negeri, kanker serviks tidak lagi menjadi masalah karena adanya deteksi dini dan vaksinasi HPV yang berjalan baik. “Sehingga, pemberian vaksin HPV di Indonesia bisa menjadi angin segar dalam menurunkan angka kejadian kanker serviks,” kata dr Brahmana.
Berkaitan dengan dampak negatif vaksin HPV yang dapat melegitimasikan angka seks bebas seperti yang beredar di masyarakat, dr Brahmana menegaskan secara ilmiah tidak ada dampak negatif terkait vaksin HPV. “Pemberian vaksin HPV bukan berarti 100 persen terproteksi dari kanker serviks. Vaksin ini bisa menurunkan risiko terjadinya kanker servik secara signifikan. Sehingga, hubungan seks bebas tetap harus dihindari.”
Dr Brahmana mengimbau masyarakat untuk ikut serta menyukseskan target pemerintah ini. Menurutnya, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. “Dua modalitas utama pencegahan kanker serviks adalah vaksin HPV pada usia muda dan skrining kanker serviks melalui pap smear rutin bagi perempuan yang telah berhubungan seks hingga usia 65 tahun,” terangnya. (*)