Oleh: Wahyu Rizki Kurnaini
mepnews.id – Siapa tak kenal Banyuwangi?
Kabupaten di ujung timur Pulau Jawa ini memiliki penduduk dari beberapa macam suku. Yang dominan adalah Jawa, Madura dan Oseng. Sementara ada juga orang Mandar, Bali, orang kepulauan Madura, dan lain-lain. Sehingga budaya di Banyuwangi beraneka ragam.
Dari ragam budaya yang ada di Banyuwangi, ada tradisi masyarakat Papring yang belum dimengerti banyak orang luar. Papring adalah kampung di ujung utara Kelurahan Kalipuro. Lokasinya bersebelahan dengan hutan Perhutani KPH Banyuwangi Utara.
Sebenarnya, jarak antara Papring dengan kota tidak jauh. Hanya berkisar 9 km. Tetapi, karena berada di pinggir hutan pinus, Papring tergolong wilayah pelosok. Akses jalan yang terjal berbatu dan sempit berliku membuat Papring sulit dijangkau.
Sulitnya sistem pengairan membuat Papring tergolong daerah kering. Dengan kondisi demikian, tak ada masyarakat yang bertani. Mereka memilih jadi buruh pabrik, membuat kerajinan besek dengan bahan dasar bambu dari hutan, berdagang dan berkebun.
Masyarakat yang memiliki kebun pun tidak serta merta dapat menanam berbagai jenis tanaman. Kondisi alam yang kering menyebabkan masyarakat hanya menanam tanaman berkayu. Yang dapat diambil buahnya antara lain alpukat, kopi, kelapa, pete, serta nangka. Ada juga pohon sengon untuk dijual kayunya.
Dengan kondisi alam yang demikian, masyarakat Papring memiliki budaya yang khas. Warisan tradisi turun-temurun ini tidak pudar oleh perkembangan jaman. Salah satu tradisi itu adalah Selametan Kebonan.
Selametan adalah simbol penghormatan dan penghargaan masyarakat kepada alam sebagai karunia yang besar dari Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum menanam, masyarakat Papring percaya bahwa apa yang akan mereka tanam di kebun akan berkah dan berlimpah dengan dilaksanakannya selamatan kebun ini.
Acara ini tidak setiap saat bisa dilaksanakan. Masyarakat Papring menyelenggarakan Selametan Kebonan bersamaan dengan Kopatan atau Lebaran Kupat. Masyarakan Papring menyebut tanggal 7 Syawal dengan nama Lebaran Kupat. Pada saat itu, masyarakat bersyukur karena masih dipertemukan dengan Idul Fitri.
Setiap masyarakat yang memiliki kebun melaksanakan Selametan Kebonan di kebun mereka. Seperti selametan pada umumnya, ini ditandai dengan pembacaan doa bersama oleh para kerabat dan tetangga yang diundang.
Dengan duduk bersila, mereka mengitari beberapa jenis makanan yang disuguhkan sebagai bentuk rasa syukur sambil membaca doa. Penyajian makanan cukup beragam sesuai keinginan pemilik kebun. Tapi, sego gurih (nasi yang diolah dengan santan sehingga berasa gurih) dan sambal teri tidak boleh dilewatkan.
Sego gurih disajikan menggembung karena di dalamnya berisi olahan ayam kampung. Ini sebagai simbol rasa syukur yang selalu melekat dalam upacara selametan. Sambal teri melambangkan kebersamaan dan kerukunan.
Setelah pembacaan doa, pemilik kebun mempersilahkan semua yang datang untuk memakan makanan yang telah disajikan. Secara bergiliran mereka mengambil dan menikmati makan-makanan itu.
Apa yang dilakukan setelah selametan kebonan? Ternyata, pemilik kebun tidak langsung menanami kebunnya. Penanaman menunggu musim penghujan tiba. Waktunya bisa lama, bisa sebentar, bisa juga pada musim yang sama. Bergantung pada Lebaran Kupat jatuh pada musim apa.
Itulah secuil budaya yang tidak pernah luntur pada masyarakat Papring. Diharapkan, generasi penerus tetap menjaga kekhasan budaya yang ada seiring masyarakat Papring berbenah dan berinovasi.
- Penulis adalah guru di SD Negeri 2 Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi.