Oleh: Anisamarcoo
mepnews.id – Dengan posisi strategis di ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi menjadi salah satu tempat bertemunya suku bangsa, budaya, dan agama dari wilayah lainnya. Dari situ, Bumi Blambangan ini mempunyai suku yang mempunyai budaya unik. Salah satunya Suku Using.
Beragam budaya unik masih tertanam rapi di masyarakat Suku Using. Budaya ini dipertahankan dengan tujuan anak dan cucu dapat melanjutkan adat tersebut. Sisi baiknya, seiring berselangnya waktu, budaya tersebut bisa menjadi salah satu tujuan wisata.
Warga Using di Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, masih memegang teguh adat dan budaya. Warga yang bermukim di Lingkungan Watubuncul ini mempunyai tradisi yang cukup populer, yakni Penganten Surup.
Surup itu waktu matahari tenggelam saat Maghrib. Jadi, ini serangkaian ritual pengantin yang berlangsung senja sampai Maghrib. Bagian dari proses penganten surup adalah arak-arakan, perang bangkat, nyadokno dan ngosek ponjen. Pada proses akhir, pengantin duduk di pelaminan di atas panggung dekorasi pas pada waktu surup.
Arak-arakan penganten dilakukan setelah acara akad nikah sebelum surup dengan tujuan diketahui oleh masyarakat sekitar bahwa kedua mempelai telah melangsungkan pernikahan.
Pengantin dengan ritual perang bangkat dilakukan untuk kedua pengantin yang mempunyai kriteria anak sulung berjodoh dengan anak bungsu, anak bungsu dengan anak bungsu, atau anak sulung dengan anak sulung.
Perang bangkat adalah perperangan antara pihak perempuan dan pihak laki-laki. Perang ini dilakukan untuk merebut si anak tunggal dari orang tuanya. Ada atraksi semacam pertarungan seni bela diri silat. Perang ini diakhiri dengan kedua pihak orang tua menyetujui dan merestui kedua mempelai untuk dinikahkan.
Nyadokno Penganten itu arti harfiahnya ‘menyatukan pengantin’. Tradisi ini dituntun oleh pemuka agama di daerah tersebut. Lakon utamanya mempelai lelaki dan perempuan. Proses ritual ini dengan alur cerita sorang istri yang mengabdi kepada suami. Dengan tujuan, pasangan pengantin selalu hidup rukun dalam menjalani biduk rumah tangga.
Saat ritual, kedua mempelai berdiri berhadapan dengan mengenakan aksesoris kembang pelik (bunga hiasan kepala) antara pengantin laki-laki dan perempuan, kemudian ditukarkan.
Proses berikutnya, ibu jari kedua mempelai dipertemukan sembari didoakan oleh ketua adat. Saat dibacakan doa, seakan terjadi hal mistis. Kedua ibu jari menempel seakan-akan ada tarikan dari dalam diri masing-masing. Begitu doa selesai, ibu jari mereka baru bisa dipisahkan.
Kemudian, ritual berlanjut pada proses berikutnya. Kaki pengantin laki-laki tanpa alas menginjak sapu lidi, selanjutnya menginjak telur. Lalu kaki tersebut dibasuh dengan ramuan pitung tawar (rempah-rempah) dan banyu arum (air harum). Setelah itu, kaki pengantin laki-laki diusap dengan kain oleh pengantin perempuan. Lalu pengantin laki-laki melangkah ke tempat dekorasi. Proses ini mencerminkan bentuk pengabdian seorang istri kepada suami.
Ritual berikutnya ngosek ponjen. Alat–alat yang digunakan ketika ngosek ponjen adalah cingkek (pikulan) yang berisi alat dapur, lesung, kembang macan, daun opo-opo, dan kembang jambe, serta bokor yang berisi kinangan (perangkat makan sirih), bantal dan keloso (tikar).
Ritual ini dilakukan jika kedua mempelai lajang tapi salah satunya anak ragil (bungsu), dan disaksikan keluarga kedua mempelai.
Pelaksanaan ritual ini menggunakan janur dengan isian beras kuning di dalamnya. Janur dipegang kedua mempelai, kemudian didoakan oleh ketua adat. Selanjutnya janur kuning ditarik secara bersamaan oleh kedua keluarga mempelai. Dikandung maksud, setelah ini kedua mempelai sudah dinyatakan tidak perawan dan jejaka.
Barulah berikutnya ngosek ponjen dengan isian uang yang didapat dari pemberian keluarga dari anak ragil.
Rangkaian berikutnya, sembur uthik-uthik dibagikan kepada seluruh penonton. Dikandung maksud agar mempelai berdua diberikan rejeki dengan lancar.
Semua rangkaian acara ini bertujuan penyucian diri bagi pasangan pengantin agar selamat menuju keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrohmah.
Beragam adat-istiadat di Banyuwangi dijalankan tanpa menimbulkan gangguan toleransi yang memicu pertengkaran. Keberagaman adat ini justru menjadikan Banyuwangi, khususnya warga Watubuncul, semakin solid dan menjunjung toleransi. Harapannya, ke depan anak cucu dapat melestarikan budaya ini.
- Penulis adalah guru di SDN 3 Boyolangu, Kecamatan Giri, Kabupaten Banyuwangi.