Oleh: Rumaisha Naila Izzati
mepnews.id – Indonesia dikenal akan keragaman budaya dan adat istiadat yang tersebar di berbagai daerah. Setiap budaya dan adat istiadat memiliki arti dan tujuan berbeda-beda. Budaya itu banyak dilakukan di daerah, apalagi di pedesaan yang kental akan tradisi-tradisi nenek moyang. Keragaman budaya masih dilestarikan di Provinsi Jawa Timur. Banyuwangi sendiri dikenal sebagai kawasan yang kental dengan adat-istiadat leluhur warisan turun-temurun. Salah satu contohnya tradisi kebo-keboan.
Apakah kalian tahu apa itu kebo-keboan? Kebo dalam Bahasa Jawa berarti kerbau. Kebo-keboan jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia kira-kira berarti kerbau jadi-jadian. Bukan kerbau asli, tapi manusia memperagakan diri menjadi kerbau.
Tradisi ini dilakukan masyarakat Using di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, yang jaraknya sekitar 30 menit berkendaraan dari dari Banyuwangi kota. Sekitar 18 petani yang dipilih ketua adat desa berdandan dan beraksi layaknya kebo. Seluruh badan dilumuri cairan hitam pekat, lengkap dengan tanduk dan kalung lonceng yang digunakan kerbau.
Kebo dipilih sebagai hewan yang diperagakan karena ada keterkaitan dengan para petani. Kerbau adalah mitra petani di sawah. Kerbau juga simbol hewan bajak yang penting untuk membantu petani menggemburkan tanah pertanian. Kerbau membantu mata pencaharian masyarakat desa dalam bertani.
Tradisi ini dilakukan sebagai rasa syukur masyarakat Using akan berkat dan rahmat yang Tuhan berikan berupa panen melimpah. Ini juga ditampilkan dalam upacara bersih desa agar seluruh masyarakat mendapat keselamatan dan jauh dari bahaya. Juga sebagai doa dan harapan agar mendapat tanah subur, hasil panen bagus dan melimpah, serta permintaan agar pertanian dijauhkan dari hama.
Tradisi ini banyak ditunggu-tunggu masyarakat setempat, dari desa lain, bahkan para. Kebo-keboan umumnya hanya dilakukan pada Bulan Suro pada penanggalan Jawa. Masyarakat desa memilih Suro untuk ritual karena dianggap bulan keramat. Tak pelak, masyarakat jadi lebih semangat datang dan menyaksikan tradisi kebo-keboan.
Tradisi kebo-keboan ini berawal dari pagebluk yang menyerang desa puluhan tahun lalu. Masyarakat banyak terserang penyakit, tanaman pertanian diserang banyak serangga dan hama, penduduk banyak yang meninggal akibat penyakit misterius. Dalam kondisi yang tidak kondusif, Mbah Karti sebagai sesepuh desa melakukan meditasi. Wangsit yang turun berisi seruan pada masyarakat desa untuk melakukan selametan dengan menggelar ritual berdandan layaknya kebo yang membajak sawah dengan mengagungkan Dewi Sri sebagai pemberi kesuburan dan kemakmuran.
Setelah warga desa setempat melaksanakan wangsit itu, situasi kembali normal. Wabah mulai hilang. Warga yang sakit berangsur pulih. Serangga dan hama tidak banyak lagi menyerang tanaman dan pertanian. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan agar lingkungan desa dan pertanian warga tidak terkena musibah seperti sebelumnya.
Seminggu sebelum ritual kebo-keboan, masyarakat bergotong royong membersihkan lingkungan rumah dan desa. Satu hari menjelang ritual, ibu-ibu desa akan mempersiapkan sesajen yang berisi tumpeng, beras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, dan ingkung ayam. Para ibu juga mempersiapkan peralatan upacara berupa, para bungkil, singkal, pacul, pera, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Sesajen digunakan di acara selametan dan ditempatkan di setiap perempatan jalan desa.
Malam hari, para pemuda menyiapkan berbagai tanaman palawija yang nantinya ditanam di sepanjang jalan desa. Mereka juga menyiapkan bendungan air yang nantinya dipakai untuk mengairi tanaman palawija yang akan ditanam di sepanjang jalan.
Pagi harinya, upacara dilaksanakan. Diawali sambutan panitia, dilanjutkan dengan doa, dan diakhiri dengan kenduri dan makan tumpeng bersama. Acara inti dilanjutkan dengan menggiring orang yang berdandan layaknya kebo mengelilingi empat penjuru desa. Mengarak kebo-keboan ini dinamakan ider bumi.
Peserta ider bumi terdiri dari sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat desa, orang yang menjadi kebo, para pembawa sesajen, dan warga yang pawai mengelilingi desa. Di depan mereka ada seorang wanita cantik yang menjadi lambang Dewi Sri membawa benih padi untuk kesuburan dan kemakmuran.
Kemudian, semua diarak menuju bendungan untuk mengairi tanaman palawija yang sudah ditanam di sepanjang desa. Petugas yang mengatur air membuka bendungan sehingga air mengalir dan membasahi tanaman palawija.
Selanjutnya, para peserta upacara menuju area persawahan. Wanita yang diarak sebagai Dewi Sri menanam benih padi yang dibawa sejak tadi. Benih ini diperebutkan para petani yang jadi kebo. Mereka masuk di kubangan dan berperilaku layaknya kebo membajak sawah. Para peserta upacara dan warga desa lalu turun ke kubangan penuh lumpur untuk berebut benih padi yang dipercaya sebagai penolak bala dan pembawa berkah.
Setiap diadakannya tradisi ini, pengunjung dan wisatawan selalu ramai. Namun, karena pandemi COVID-19 yang mewabah di Indonesia dan khususnya Banyuwangi, tradisi kebo-keboan tidak dilakukan dengan pawai dan arak-arakan demi mengurangi peluang penularan wabah COVID-19. Tradisi tetap berjalan dengan hanya selametan atau kenduri.
- Penulis adalah siswi SMPN 1 Banyuwangi