Melanglang Jagad Demi Cinta Seni

Oleh: Kasiyono

mepnews.id – Dia dilahirkan di ujung timur pulau Jawa, yakni di Kabupaten Banyuwangi, tahun 1972. Bapak dan emaknya hanyalah petani dengan sawah yang tidak luas. Orang tuanya juga tidak tamat Sekolah Rakyat (setingkat SD sekarang), sehingga membuat dia dan tiga kakakanya bersekolah tanpa arah dan bimbingan. Yang penting sekolah.

Pada akhirnya, keempat anak ini bisa tamat SLTA meski dengan pembiayaan yang tertatih-tatih, dengan puluhan kisah yang menyesakkan dada terutama saat-saat mau membayar SPP. Empat kakak-beradik ini sekolahnya hampir bersamaan, masing-masing hanya jeda satu tahun. Tak pelak, selalu ada drama saat waktunya membayar SPP. Emaknya sering mencari pinjaman entah ke mana saja.

Dalam kondisi ekonomi serba mepet, dia merasakan bakat dan keahlian tentang seni. Kiranya, darah seni orang tua mengalir deras pada dia dan dan ketiga kakaknya. Dia, sejak belum sekolah, sudah sering melihat kakaknya dan teman-teman mereka berlatih tari Banyuwangi di rumah pakdenya. Hanya dengan sering melihat, dia pun bisa menirukan menari. Bahkan piawai.

Anak pakdenya juga ahli bermain musik daerah Banyuwangi. Dia, hanya dengan sering melihat kakak sepupunya itu, juga bisa memainkan alat musik daerah Banyuwangi. Ya, awalnya memang masih kurang pas. Tapi akhirnya bisa. Alhasil, secara bertahap, dia mulai menguasai tari dan musik Banyuwangi.

Menginjak kelas 4 SD, dia mulai belajar bermain gitar dengan bimbingan dari kakaknya sendiri. Menginjak SMP, dia mempraktikkan ketrampilan main gitarnya. Mulai berani mengamen. Setiap malam Minggu, ia mencoba mengais recehan dari rumah ke rumah untuk sekadar mencari uang jajan. Dia memang jarang diberi uang jajan oleh bapak dan emaknya karena tidak punya cukup uang. Sampai-sampai, saat kelas 1 SMP, dia dan temannya sudah sampai ke Denpasar Bali hanya bermodal gitar butut dan sedikit uang.

Meski sudah mengenal gitar dan mengamen, kegemarannya akan kesenian Banyuwangi tetap membara. Di sela belajar sekolah, dia tetap berkesenian daerah. Maka, saat kelas 3 SMP, dia mencoba lebih serius belajar berkesenian Banyuwangi. Untuk mendapatkan teknik yang tepat dan benar, dia minta bimbingan dari ahlinya. Bapak Tohan dari Pasinan.  Nah, dari pelatihan serius ini dia menyadari bahwa bidang spesialisnya ada di musik, bukan di tari.

Hobi ngamen sambil kluyuran terbawa sampai SMA. Tak pelak, saat kelas 1 SMA dia sudah bisa menginjakkan kaki di Jakarta dengan modal yang sama; nekat dan gitar tua. “Jakarta, akhirnya aku datang,” begitu yang ada di benaknya kala itu.

Dengan modal keahlian di bidang kesenian, dia akhirnya bisa menjejakkan kaki di Jakarta berkali-kali. Tentu ini sebuah capaian yang luar biasa. Pada saat itu, kesenian daerah jarang berkesempatan bisa tampil di Ibu Kota.

Dia menilai, 1993 adalah momen tak terlupakan. Di Pantai Ancol, digelar Festival perkusi yang diikuti seniman dari Indonesia dan mancanegara. Yang dia ingat pesertanya antara lain dari; Sumatera Utara, Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Korea, India, Myanmar, Australia, Selandia Baru.

Lulus SMA, dia tetap bergelut dengan kesenian. Hampir semua kesenian Banyuwangi dia tekuni. Hingga akhirnya dia meyakini, “Ini lah jalan hidupku.” Siang-malam selalu ada yang membutuhkan tenaga dan keahliannya. Secara otomatis, kondisi keuangannya juga mulai lancar. Yang lebih penting, menurutnya, bisa membantu ekonomi orang tua walau sekadarnya.

Aktivitas berkesenian berlanjut saat kuliah.

Awalnya, dia sering membantu mahasiswa PGSD Jember melaksanakan Bhakti Sosial yang menampilkan tari daerah. Aktivitas ini membawa dia berkenalan dengan para mahasiswa yang pada akhirnya mengajaknya untuk mengadu nasib mengikuti tes memasuki jenjang perkuliahan. Dengan sisa-sisa ingatan pelajaran sekolah dahulu kala, dia lolos ujian dan bisa menjadi mahasiswa setelah telat hampir empat tahun.

Tentu, masa-masa kuliah sangat membahagiakan dan membanggakan. Namun, pada era ini pula ia mendapat tekanan. Emaknya pergi selamanya. Saat dalam masa perkuliahan, emaknya dipanggil Allah karena tetanus.

“Duniaku seakan hancur. Ke mana lagi aku bisa mengadu dan berkeluh kesah? Terbayang saat aku pulang dari Jember. Dari halaman, aku sudah teriak-teriak… ‘Emak, Emak, aku pulang.’ Dengan wajah berseri walau letih, Emak menyambut dengan senyuman,” begitu dia mengisahkan masa lalu yang sangat menyayat hatinya. “Selamat jalan, Emak. Semoga Allah mengampuni semua kesalahan Emak dan menerima seluruh kebaikan Emak. Aamiin.”

Sementara, takdir terus berpihak kepadanya. Dari berkesenian, dia bisa menjadi PNS. “Tak pernah terbayangkan olehku menjadi seorang abdi negara,” begitu ia bercerita.

Saat awal menjadi PNS, dia tetap eksis berkesenian. Malah semakin  menjadi. Awalnya bergelut di kesenian daerah, akhirnya dia melebarkan sayap merambah ke dunia musik elektrik. Tanggal 2 Februari 2002, dia dan teman-teman mendeklarasikan berdirinya grup musik Denata.

Setelah malang-melintang di dunia permusikan, dia mengundukan diri pada tahun 2006 karena kesibukan sebagai abdi negara. Meski demikian, di sela-sela waktu dia masih berkesenian bersama rekan-rekan guru dalam wadah Panjak PGRI Banyuwangi.

Tapi, eh… tunggu dulu. Siapa tokoh ‘dia’ yang dikisahkan di sini?

Dia itu adalah aku sendiri. Begitulah romantika perjalanan hidupku. Bakal selalu kukenang, dan menjadi pembelajaran serta cerita bagi anak-anak, murid-murid dan seluruh pembaca yang budiman. Kiranya tidak ada gading yang tak retak. Bilahitaufik walhidayah. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

  • Penulis adalah SDN 2 Temuasri, Sempu, Banyuwangi.

Facebook Comments

Comments are closed.