Oleh: El Er
mepnews.id – Pemenuhan kebutuhan hidup seseorang sangat tergantung pada sumber daya alam (SDA) di sekitar tempat tinggalnya. Pemanfaatan SDA sangat dipengaruhi ketrampilan dan tingkat pendidikan seseorang. Makin tinggi tingkat pendidikan, akan meningkat pula ketrampilan yang dimiliki sehingga lebih arif juga dalam memanfaatkan SDA.
Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan lajunya pertambahan penduduk, orang dituntut untuk bertahan dalam persaingan global. Demikian pula yang dialami para pengrajin di Dusun Krajan, RT 3, RW 4, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi.
Terletak di lereng Gunung Raung, penduduk menikmati SDA berupa banyak tanaman bambu. Ada bambu liar, ada juga bambu yang ditanam di lahan milik penduduk secara perorangan maupun kelompok. Melimpahnya tanaman bambu membuat banyak warga memanfaatkannya untuk bahan berbagai kerajinan tangan.
Kerajinan dari bambu yang banyak dibuat adalah TOBOS. Ini semacam keranjang yang berjajar dua sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai semacam bagasi ekstra untuk kendaraan roda dua seperti sepeda atau sepeda motor. Keranjang ini membantu kendaraan memuat dan mengangkut barang lebih banyak daripada diboncengkan secara biasa.
Untuk membuat tobos, diperlukan ketrampilan dalam pemilihan bahan maupun dalam proses penganyamannya. Bukan sembarang bambu yang bisa digunakan. Penganyamannya juga tidak sembarangan karena bentuk serta model tobos disesuaikan permintaan konsumen. Ada yang hanya berupa bilahan-bilahan bambu disusun membentuk balok persegi. Ada pula yang berupa anyaman rumit sehingga harus dicetak. Nah, model dan bentuk tobos itu yang menentukan harga.
Bagi sebagian warga Dusun Krajan, membuat tobos merupakan ketrampilan yang wajib dimiliki secara turun-temurun. Namun, kenyataan saat ini banyak generasi yang belajar melestarikan pembuatan tobos secara mandiri. Mereka banyak memodifikasi dari pakem yang ada.
Imam Sahuri BA, ketua RT 3 dan penggagas Kampung Tobos yang diresmikan tahun 2017, mengatakan, “Membuat tobos bagi sebagian besar penduduk RT 3 dan RT 4 merupakan mata pencaharian utama. Mereka memanfaatkan ketrampilan secara turun-temurun dari orang tua. Kecuali bagi generasi kini yang telah ditopang pendidikan lebih memadai daripada generasi sebelumnya.”
Ginem, pengrajin tertua di tempat itu saat ini, mengaku sudah membuat dan menjual tobos sejak tahun 1975. Saat itu harga satu unit Rp 1.500. Ia harus memikulnya dan berjalan kaki untuk mencari pembeli. Tak jarang, ia berjalan hingga ke Pasar Genteng.
Seiring berkembangnya alat transportasi dan kemampuan ekonomi masyarakat, pengrajin bisa membawa tobos dengan sepeda roda dua atau ‘sepeda Unta’. Kini, orang bisa membawanya dengan motor. Harga tobos juga mengalami kenaikan perlahan. Saat ini, harga jual satu unit tobos mencapai Rp 100.000 hingga Rp 110.000.
Menurut Imam Sahuri, “Sebenarnya masyarakat di sini sangat membutuhkan bimbingan dan binaan dari pemangku kebijakan maupun lembaga terkait terutama dalam hal permodalan. Dengan modal memadai, diharapkan semakin banyak warga tertarik menekuni kerajinan tobos. Modal yang dimaksudkan bisa berupa bantuan dengan bunga lunak untuk perajin. Tidak jarang, perajin mengambil uang terlebih dahulu dari para pengepul sehingga harga yang akan didapatkan menjadi lebih rendah. Bagi keluarga yang membuat tobos sebagai sambilan, itu memang tidak terasa. Namun itu sangat kurang menguntungkan bagi perajin yang menggantungkan ekonomi keluarganya hanya dari penjualan tobos.”
Kebanyakan perajin memperoleh bahan baku dari hutan di lereng Gunung Raung. Tidak menutup kemungkinan mereka juga mendapatkan bambu dari lahan milik pribadi di kebun maupun di lereng-lereng pematang sawah tak jauh dari pemukiman. Mereka tidak pernah kekurangan bahan baku untuk membuat tobos sebagai tumpuan utama ekonomi mereka. Namun, mereka tak jarang terlilit permasalahan modal untuk memutar perekonomian.